Iklan video

Senin, 04 Mei 2015

Talak dan Gugat Cerai dalam Islam

Talak dan Gugat Cerai dalam Islam

Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat cerai adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan negara. Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia dihindari. Namun Islam memberi jalan keluar apabila ia dapat menjadi jalan atau solusi terbaik bagi keduanya.

DAFTAR ISI

  1. Definisi Cerai Talak
  2. Dalil Dasar Hukum Perceraian Talak
  3. Kategori Hukum Perceraian Talak
    1. Talak Wajib
    2. Talak Haram
    3. Talak Sunnah
    4. Cerai Makruh
    5. Cerai Mubah
  4. Shighat (Ucapan) Talak
    1. Talak Sharih (Eksplisit)
    2. Talak Kinayah (Tidak Langsung)
  5. Rukun Perceraian Talak
    1. Rukun Talak Bagi Suami
    2. Rukun Cerai Bagi Istri
    3. Rukun Ucapan Teks Talak
  6. Jenis Cerai Talak
    1. Cerai Talak oleh Suami
      1. Talak Raj'i
      2. Talak Ba'in
      3. Talak Sunni
      4. Talak Bid'i
      5. Talak Taklik
    2. Gugat Cerai oleh Istri
      1. Fasakh
      2. Khuluk
      3. Apa itu Talak Ba'in Sughra (Kecil)
  7. Taklik Talak
    1. Taklik Talak Ada 2 Macam
    2. Sighat Taklik Talak KUA
    3. Hukum Mengucapkan Taklik Talak
  8. Iddah Masa Tunggu
  9. Beda Talak Raj'i, Bain Sughra, Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in
  10. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama
    1. Proses Cerai Talak oleh Suami di Pengadilan Agama
    2. Proses Cerai Gugat oleh Istri di Pengadilan Agama
  11. Cara Suami Rujuk
  12. Rujuk< Talak dengan Dua Saksi
  13. Talak Tidak Sah atau Tidak Terjadi
    1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datang
    2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya
    3. Bercerita tentang talak
    4. Talak Orang Marah Tingkat Kemarahan Tertinggi dan Menengah
  14. CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM


DEFINISI CERAI TALAK

Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK

- QS Al-Baqarah 2:229

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

- QS At-Talaq 65:1-7
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ   بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(ayat 2)

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (ayat 5)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(ayat 6)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(ayat 7)


SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA

Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang suami pada istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung, jelas, eksplisit) dan talak kinayah (tidak langsung, sindiran, implisit). Kedua shighat talak ini memiliki hukum tersendiri dalam soal terjadinya talak atau tidak.


TALAK SHARIH (LANGSUNG)

Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak berniat untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a) Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu." atau "Kamu dicerai", dsb.
(b) Pisah (mufaraqah)
(c) Sarah (pisah)


TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)

Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"

Termasuk talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS (short text message).


HUKUM CERAI/TALAK
Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:

TALAK ITU WAJIB APABILA:

a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik

Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami

PERCERAIAN ITU HARAM APABILA:

a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

PERCERAIAN ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:

a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya

CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:

Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama

CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA

Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

RUKUN PERCERAIAN/ TALAK
Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.

Rukun Talak bagi Suami

- Berakal sehat
- Baligh
- Dengan kemauan sendiri

Rukun Talak bagi Isteri

- Akad nikah sah
- Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Lafadz/teks talak:

- Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
- Dengan sengaja dan bukan paksaaan

JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)

Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu (a) cerai talak oleh suami kepada istri dan (b) gugat cerai oleh istri kepada suami.

A. CERAI TALAK OLEH SUAMI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.

Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam sbb:

Talak raj’i

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.

Talak bain

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.

Talak sunni

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci

Talak bid’i

Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).


Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.


TAKLIK TALAK

Taklik talak atau talak taklik dibagi ke dalam dua macam, yaitu taklik qasami dan taklik syarthi.


TAKLIK TALAK ADA 2 MACAM

Taklik qasami

Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.

Taklik Syarthi

Taklik Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari, hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan suami.


ISI SIGHAT TAKLIK TALAK

Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria setelah ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:

SIGHAT TAKLIK TALAK

بسم الله الرحمن الرحيم

Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin (nama_ayah_mempelai_pria) berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama_mempelai_wanita) binti (nama_ayah_mempelai wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut ajaran syari'at islam.

Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :

1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelengara Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

Suami


HUKUM UCAPAN TAKLIK TALAK

Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Berdasarkan pada

(a) Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:

Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari
tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.

(b) KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)

Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.


B. GUGAT CERAI OLEH ISTRI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.

Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:

- Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
- adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229

APA ITU TALAK BA'IN SHUGHRA

Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).

Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.


IDDAH MASA TUNGGU

Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru.

Rincian masa iddah sbb:

1. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2. Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3. Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS Al-Baqarah 2:228).
4. Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
5. Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’ atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid.
6. Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.


BEDA TALAK RAJ'I, TALAK BA'IN SUGHRA, TALAK 3 (TIGA) BA'IN KUBRO

Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj'i, talak ba'in sughra (kecil) dan talak ba'in kubra atau talak 3 (tiga). Perbedaan ketiganya adalah sbb:

Talak Raj'i (Rujuk)

Adalah cerai talak oleh suami dengan level talak 1 (satu) dan talak 2 (dua). Dengan status talak raj'i, maka suami boleh rujuk atau kembali pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad nikah baru. Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis, maka harus diadakan akad nikah baru.

Talak Ba'in Sughra (Kecil)

Talak Ba'in Sughra adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi ini, maka (a) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah; dan (b) suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad nikah yang baru.

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in Kubro

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in saja adalah perceraian di mana suami sama sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa iddah sudah habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain dan beberapa saat (bulan/tahun) kemudian pria kedua tersebut menceraikannya.


PROSEDUR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

Ada beberapa tahapan dalam melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama baik menyangkut cerai talak oleh suami atau cerai gugat oleh istri sbb:

PROSES CERAI TALAK OLEH SUAMI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirub`h sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syarhah tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

PROSES GUGAT CERAI OLEH ISTRI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. a. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
c. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’aah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.


CARA SUAMI RUJUK

Selama masa iddah belum habis, suami boleh rujuk pada istri yang ditalak raj'i (selain talak 3) kapan saja. Cara rujuk sbb:

a. Rujuk dapat dilakukan dengan mengatakan pada istri "Aku rujuk". Atau berkata pada orang lain "Aku rujuk pada istriku" atau "Aku kembali ke istriku.

b. Rujuknya juga dianggap sah dengan perbuatan. Seperti melakukan hubungan intim dengan diniati rujuk.


RUJUK DAN TALAK DENGAN DUA SAKSI

a. Sunnah hukumnya menghadirkan dua saksi saat melakukan talak atau rujuk.
b. Tapi sah hukum talak dan rujuk tanpa ada saksi
c. Rujuknya suami tidak memerlukan adanya wali, atau mahar, atau kerelaan istri atau atas sepengetahuan istri. Rujuk tetap sah walaupun istri tidak tahu atas hal itu.


TALAK YANG TIDAK TERJADI ATAU TIDAK SAH

Perkataan 'talak', 'pisah', atau 'cerai' tidak terjadi atau tidak sah apabla diucapkan dalam kondisi dan situasi berikut:


1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datagn (future tense, zaman mustaqbal)

Talak dalam Future Tense (Masa akan datang) Tidak Terjadi

Kalimat talak atau cerai yang menunjukkan waktu masa depan (Inggris: future tense; Arab: mustaqbal) itu tidak dianggap talak sharih (eksplisit) tapi dianggap talak kinayah (implisit) karena dalam konteks ini ia seperti janji talak. Karena itu ia membutuhkan niat agar talak terjadi dan sah. Syarwani dalam Hasyiyah Syarwani atas kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj menyatakan:
لو قال لزوجته تكون طالقاً هل تطلق أو لا؟ لاحتمال هذا اللفظ الحال والاستقبال، وهل هو صريح، أو كناية؟ والظاهر أنه كناية، فإن أراد به وقوع الطلاق في الحال طلقت، أو التعليق احتاج إلى ذكر المعلق عليه، وإلا فهو وعد لا يقع به شيء

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya "Kamu akan menjadi istri yang tertalak" apakah jatuh talak atau tidak? Karena kata ini mengandung kemungkinan zaman hal (masa sekarang) atau istiqbal (masa akan datang). Secara zahir, ini talak kinayah. Apabila suami ingin menjatuhkan talak saat ini juga dengan kalimat itu maka terjadi talak; apabila bermaksud taklik (talak kondisional), maka suami harus menyebut muallaq alaih (yang dijadikan kondisi / syarat). Apabila tidak, maka kalimat ini adalah janji yang tidak terjadi apa-apa.


2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya hukumnya tidak sah alias tidak terjadi

Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Alfadz al-Minhaj 3/302 menyatakan
ولو قال أنت طالق أو لا أو أنت طالق واحدة أو لا بإسكان الواو فيهما لم يقع به شيء لأنه استفهام لا إيقاع فكان كقوله هل أنت طالق إلا أن يريد بقوله أنت طالق إنشاء الطلاق فتطلق ولا يؤثر قوله بعده أو لا

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya: "Kamu tertalak atau tidak?" atau "Kamu tertalak satu atau tidak?" maka talak tidak terjadi karena itu kalimat tanya bukan penjatuhan talak. Kalimat tersebut sama dengan kalimat (suami pada istri): "Apakah kamu perempuan yang tertalak?" Namun demikian, apabila dengan kata-kata tersebut suami (yakni kalimat "Kamu tertalak atau tidak?") ada niat untuk mentalak istrinya, maka talak terjadi.


3. Bercerita tentang talak tidak berakibat jatuh talak. Misalnya, suami bercerita pada istrinya bahwa tetangga sebelah ditalak oleh suaminya.

Zakariya Al-Anshari dalam kitab Al-Ghurar Al-Bahiyyah fi Al-Bahjah Al-Wardiyyah IV/246 menyatakan:
قوله: وقصد. أي قصد لفظه لمعناه أي قصد لفظه ومعناه؛ إذ المعتبر قصدهما ليخرج حكاية طلاق الغير، وتصوير الفقيه، والنداء بطالق لمن اسمها طالق

Artinya: ... yang dianggap (dalam talak) adalah kesengajaan dalam kata dan makna. Tidak termasuk dari talak adalah bercerita tentang talak orang lain, dan penjelasan talak seorang ahli fiqih, dan panggilan dengan kata "Taliq" (orang yang dicerai) bagi wanita yang kebetulan bernama Taliq.

3. Apabila suami menceraikan istrinya dengan talak 1, lalu setelah habis masa iddahnya, suami mentalak yang kedua kalinya (tanpa adanya rujuk atau akad baru), maka itu tidak terjadi talak. Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan suami-istri sama sekali.

4. Kalimat talak dengan memakai kalimat perintah tidak terjadi talak. Ibnu Abil Fath dalam Al-Matlak ala Abwab al-Fiqh (mazhab Hanbali) menyatakan:

ولا يحصل الحكم بالمضارع ولا بالأمر، لأن المضارع وعد كقولك: أنا أعتق وأدبر وأطلق، والأمر لا يصلح للإنشاء ولا هو خبر فيؤاخذ المتكلم به

Artinya: ... cerai talak tidak terjadi dengan kalimat kata perintah (fi'il amar) karena ia bukan kalimat berita dan tidak pantas dijadikan pernyataan.


4. Talaknya Orang Marah dengan Kemarahan Tingkat Tertinggi atau Menengah

Abdurrohman Al-Jaziri yaitu Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, hlm. 4/142 membagi kemarahan suami yang marah menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai berikut:

أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته باتفاق الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى لا يقع طلاقه لأنه هو والمجنون سواء الثالث : أن يكون الغضب وسطا بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم الثالث يقع به الطلاق

Artinya: Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membaga kemarahan itu menjadi 3 (tiga) bagian:

Pertama, kemarahan tingkat pertama. Ia tidak merubah akal orang yang marah dalam arti ia sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan menyadarinya. Tidak diragukan bahwa marah dalam tingkat ini sah dan terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.

Kedua, kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga seperti orang gila yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan tidak menyadarinya. Tidak diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini tidak terjadi talaknya karena ia sama dengan orang gila.

Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe ketiga ini sah dan terjadi talaknya.

Pada halaman 4/144 Al-Jaziri dalam kitab yang sama (Al-Fiqh alal Mazahib Al-Arba'ah) mengutip pendapat beberapa mazhab secara detail dan juga pendapat Ibnul Qayyim sbb:

"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak menyadari apa yang dikatakannya.

Orang yang marah dengan kemarahan tingkat menengah ini sering berbicara rasional tapi tidak bisa terus menerus konsisten bicara logis. Jelas ini menguatkan pendapat Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa tingkat kemarahan si suami tidak seperti orang gila.. Walaupun Ibnul Qayyim bermazhab Hanbali, akan tetapi ulama mazhab Hanbali tidak mengakui pendapat ini.

Yang dapat difaham dari kaidah keempat mazhab adalah bahwa kemarahan yang tidak sampai merubah kesadaran seseorang dan tidak menjadikannya seperti orang gila maka talaknya sah dan terjadi tanpa keraguan. Begitu juga kemarahan pada tingkat menengah yaitu kemarahan yang sangat sampai ia keluar dari tabiat asal tapi tidak sampai pada tingkat seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Talaknya orang ini juga sah dan terjadi. Adapun talak yang dapat merubah kesadaran sehingga ia menjadi seperti orang gila maka talaknya tidak dianggap dan tidak sah.

Ini adalah pendapat eksplisit dari ulama mazhab Hanafi. Akan tetapi berdasarkan pendapat dari sebagian mazhab Hanafi bahwa kemarahan apabila keluar dari kebiasaan dan membuat si suami tidak rasional dalam perilaku dan perkataan maka talaknya tidak sah dan tidak terjadi. Pendapat ini adalah pendapat yang baik karena dalam keadaan ini ia seperti orang mabuk yang hilang akal dan kesadarannya disebabkan oleh minum miniman non-alkohol maka mereka dihukumi talaknya tidak terjadi. Dengan demikian, maka orang yang marah sebaiknya dihukumi demikian juga.

Ada yang bertanya dengan argumen bahwa menganalogikan orang marah dengan orang mabuk karena minuman non-alkohol telah menjadikan hukum hanya terbatas pada orang yang dimurkai Allah seperti marah karena mempertahankan diri atau harta atau agama. Sedangkan orang yang marahnya karena sebab yang haram seperti marah karena dengki pada orang yang tidak setuju padanya atas perkara batil atau marah pada istrinya secara zalim dan permusuhan dan kemarahannya sampai pada batas ini maka talaknya sah dan terjadi karena kemarahannya membuat dia tidak rasional. Maka jawabannya adalah: bahwa marah adalah sifat personal yang ada pada setiap manusia yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Pada dasarnya marah tidak haram karena ia bersifat inheren pada diri manusia untuk mempertahankan diri dalam membela agama, harga diri, harta dan nyawa. Yang haram adalah menggunakan kemarahan di luar tujuan yang dibolehkan. Beda halnya dengan alkohol yang tidak dibolehkan bagi manusia untuk menggunakannya dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, terjadinya talak bagi orang yang mabuk itu sebagai pencegahan agar tidak melakukannya. Sedangkan marah itu tidak mungkin dilarang karena itu merupakan watak bawaan manusia. Karena itu maka tidak sah membandingkan kemarahan manusiawi dengan mabuk karena minuman keras atau hal lain yang haram yang wajib dijauhi."(Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, 4/144). Untuk teks Arabnya lihat di sini.

Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama Mesir kontemporer seperti Ali Jum'ah (mantan mufti Mesir), Sayyid Sabiq, Jad al-Haq,

===============
RUJUKAN

- Al-Quran dan Al-Hadits
- Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi'i
- Kitab Mukhtashar al-Fiqh al-Islami fi Dhau al-Quran was Sunnah
- Kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi khususnya Kitab al Khuluk dan Kitab at Talaq.
- فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب oleh Abu Zakariya Al Anshari.
- www.pa-negara.go.id




....

Baru Talak Satu Dan Dua, Jangan Segera Berpisah, Ia Masih Istrimu!

Masih ada salah kaprah di masyarakat kita,yaitu ketika seorang suami menjatuhkan talak ra’jiy atau menceraikan istrinya. Maka statusnya langsung bukan suami istri. Maka baru saja talak terjadi dan belum habis masa iddah, semua sudah dipisahkan. Istri langsung pulang ke rumah orang tua, barang-barang punya istri langsung diangkat dan harta langsung dipisahkan.
Syaikh Muhammad bin Shalih AL-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
وما كان الناس عليه الآن من كون المرأة إذا طلقت طلاقاً رجعياً تنصرف إلى بيت أهلها فوراً ، هذا خطأ ومحرم
“Manusia pada saat ini (beranggapan) status istri jika ditalak dengan talak raj’iy (masih talak satu dan dua), maka istri langsung segera pulang ke rumah keluarganya. Ini adalah kesalahan dan diharamkan.”[1]

Talak satu dan dua masih bisa balik rujuk (talak raj’iy)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أ لطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan baik” (Al-Baqarah: 229)
Dan selama itu suami berhak merujuk kembali walaupun tanpa persetujuan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (Al Baqarah: 228).

Jangan segera berpisah
Suami istri bahkan diperintahkan tetap tinggal satu rumah. Demikianlah ajaran islam, karena dengan demikian suami diharapkan bisa menimbang kembali dengan melihat istrinya yang tetap di rumah dan mengurus rumahnya.
Demikian juga istri diharapkan mau ber-islah karena melihat suami tetap memberi nafkah dan tempat tinggal.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَاكَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ .
Nafkah dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk kepadanya.”[2]
Allah Ta’ala berfirman,
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” QS. Ath Thalaq: 1.
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,
وَقَوْلُهُ: {لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ} أَيْ: فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ لَهَا حَقُّ السُّكْنَى عَلَى الزَّوْجِ مَا دَامَتْ مُعْتَدَّةً مِنْهُ، فَلَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يُخْرِجَهَا، وَلَا يَجُوزَ لَهَا أَيْضًا الْخُرُوجُ لِأَنَّهَا مُعْتَقَلَةٌ (3) لِحَقِّ الزَّوْجِ أَيْضًا.
“Yaitu: dalam jangka waktu iddah, wanita mempunyai hak tinggal di rumah suaminya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi suaminya mengeluarkannya. Tidak bolehnya keluar dari rumah karena statusnya masih wanita yang ditalak dan masih ada hak suaminya juga (hak untuk merujuk).” [3]

Istri yang ditalak raj’iy berdosa jika keluar dari rumah suami
Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan,
: أي ليس للزوج أن يخرجها من مسكن النكاح ما دامت في العدة ولا يجوز لها الخروج أيضاً الحق الزوج إلا لضرورة ظاهرة؛ فإن خرجت أثمت ولا تنقطع العدة
“yaitu tidak boleh bagi suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi wanita keluar juga karena (masih ada) hak suaminya kecuali pada keadaan darurat yang nyata. Jika sang istri keluar maka ia berdosa dan tidaklah terputus masa iddahnya.”[4]

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,
تأثم المعتدة من طلاق رجعي إذا خرجت من بيت مطلقها من غير إخراج لها ، إلا إذا دعت إلى خروجها ضرورة ، أو حاجة تبيح لها ذلك
Mendapat dosa jika wanita yang ditalak raj’iy jika keluar dari rumah suaminya, asalkan tidak dikeluarkan (diusir). Kecuali jika ada keperluan darurat yang membolehkannya.”[5]

Semoga bisa menimbang kembali
Mengenai ayat,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (Ath- Thalaq: 1).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,
أي: إنما أبقينا المطلقة في منزل الزوج في مدة العدة، لعل الزوج يندم على طلاقها ويخلق الله في قلبه رجعتها، فيكون ذلك أيسر وأسهل.
 “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”.[6]





[1] Fatawa Asy-Syar’iyyah dinukil dari: http://islamqa.info/ar/ref/122703
[2]  Hadits shahih. Riwayat An-Nasa’i (VI/144)
[3] Tafsir Ibnu katsir 8/143, Darut Thayyib, cet. III, 1420 H, syamilah
[4] Tafsir Qurthubi 18/154, Darul Kutub Al-Mishriyah, Koiro, cet. II, 1384 H, syamilah
[5] Fatwa Al-Lajnah 20/224 no. 9097, syamilah
[6] Tafsir Ibnu katsir 8/144, Darut Thayyib, cet. III, 1420 H, syamilah

Minggu, 03 Mei 2015

Talak dan Kembali Rujuk

Suami kadang terlalu terburu-buru dalam memutuskan cerai. Padahal masih cinta dan ingin kembali atau rujuk. Lalu bagaimana cara untuk rujuk, apakah mesti dengan ucapan atau bisa dengan cuma berhubungan intim dengan istri? Dan perlu diketahui bahwa talak itu ada dua macam yaitu talak roj’iy, talak yang bisa kembali rujuk ketika masa ‘iddah dan talak ba-in, talak yang tidak bisa kembali rujuk kecuali dengan akad yang baru atau setelah menikah dahulu dengan laki-laki lain pada wanita yang ditalak tiga. Kesempatan kali ini kita akan mengulas masalah rujuk dan talak yang bisa kembali rujuk.
Pengertian Talak Roj’iy
Talak roj’iy adalah talak yang membolehkan suami untuk rujuk ketika masih dalam masa ‘iddah tanpa didahului dengan akad nikah yang baru, walau istri tidak ridho kala itu. Talak roj’i ada ketika talak pertama dan talak kedua. Jika ‘iddah telah selesai pada talak pertama dan kedua, maka jadilah talak ba-in (talak yang tidak bisa kembali rujuk). Jika masih talak pertama dan kedua kala itu suami masih ingin kembali pada istri yang dicerai, maka harus dengan akad nikah baru.
Disyari’atkannya Rujuk
Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud “imsak dengan cara yang ma’ruf” dalam ayat tersebut adalah rujuk dan kembali menjalin pernikahan serta mempergauli istri dengan cara yang baik.
Begitu juga dalam ayat,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak istrinya berhak untuk rujuk kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat ia benar-benar memaksudkan untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya) kepada istri.[1]
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa talak dibolehkan untuk rujuk. Sedangkan untuk talak ketiga (talak ba-in) tidak ada rujuk sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49). Talak sebelum disetubuhi dianggap talak ba-in dan tidak ada masa ‘iddah bagi laki-laki kala itu. Rujuk hanya berlaku jika masa ‘iddah itu ada.[2]
Dalil hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali[3]
Begitu pula ada ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa seorang pria merdeka ketika ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak dan seorang budak pria kurang dari dua talak, maka mereka boleh rujuk selama masa ‘iddah.[4]
Hikmah di Balik Disyari’atkannya Rujuk
Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal telah mentalak istrinya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats Tsauri.[5]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”.[6]
Ketika Istri Sudah Ditalak Tiga Kali
Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain dengan nikah yang sah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain” (QS. Al Baqarah: 230).
Pernikahan yang kedua disyaratkan agar suami kedua menyetubuhi istrinya sehingga dikatakan sah. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan,
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ، لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ »
Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata,  “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)[7]”.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.[8]
Hukum Seputar Rujuk dan Talak Roj’iy
1. Rujuk ada pada talak roj’iy (setelah talak pertama dan talak kedua), baik talak ini keluar dari ucapan suami atau keputusan qodhi (hakim).
2. Rujuk itu ada jika suami telah menyetubuhi istrinya. Jika talak itu diucap sebelum menyetubuhi istri, maka tidak boleh rujuk berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[9] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49).
3. Rujuk dilakukan selama masih dalam masa ‘iddah. Jika ‘iddah sudah habis, maka tidak ada istilah rujuk –berdasarkan kesepakatan ulama- kecuali dengan akad baru. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah)” (QS. Al Baqarah: 228).
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Yang namanya rujuk adalah ingin meneruskan kepemilikan (istri). Kepemilikan di sini putus setelah berlalunya masa ‘iddah dan ketika itu tidak ada lagi keberlangsungan pernikahan.
4. Perpisahan yang terjadi sebelum rujuk bukanlah karena nikah yang batal karena faskh. Seperti nikah tersebut batal karena suami murtad.
5. Perpisahan yang terjadi bukan karena hasil dari membayar kompensasi seperti dalam khulu’ (istri menuntut cerai di pengadilan dan diharuskan membayar kompensasi).
6. Rujuk tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu sesuai kesepakatan suami-istri, semisal rujuk nantinya setelah 8 tahun. Sebagaimana nikah tidak bisa dengan syarat waktu sampai sekian bulan, begitu pula rujuk.
Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika Suami akan Rujuk
Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih dalam masa ‘iddah, baik istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan sendiri. Semisal suami berkata, “Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah rujuk kembali”. Atau ia berkata, “Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti ini tidak teranggap karena penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah. Padahal tidak boleh seorang pun mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyebutkan,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229).
Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk dijadikan milik suami. Dan Allah menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk suami dan tidak menjadikan pilihan bagi istri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail pada masalah talak bid’iy.
2. Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri.
3. Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun, rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari firman Allah,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri. Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami.
4. Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa ‘iddah, istri masih tetap istri suami. AllahTa’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk berpikiran untuk rujuk pada istri.
Cara Rujuk
1. Rujuk dengan ucapan
Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa rujuk itu sah dengan ucapan. Seperti suami mengatakan, “Saya rujuk padamu” atau yang semakna dengan itu. Atau suami mengucapkan ketika tidak di hadapan istri dan ia berkata, “Saya rujuk pada istriku”.
Lafazh rujuk ada dua macam: (1) shorih (tegas), (2) kinayah (kalimat samaran).
Jika lafazh rujuk itu shorih (tegas) seperti kedua contoh di atas, maka dianggap telah rujuk walau tidak  dengan niat. Namun jika lafazh kinayah (samaran) yang digunakan ketika rujuk seperti, “Kita sekarang seperti dulu lagi”, maka tergantung niatan. Jika diniatkan rujuk, maka teranggap rujuk.
2. Rujuk dengan perbuatan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa dengan melakukan jima’ (hubungan intim) dan melakukan muqoddimahnya (pengantarnya) seperti mencium dengan syahwat baik diniatkan rujuk atau tidak, maka rujuknya teranggap. Ada juga ulama yang mensyaratkan harus disertai niat dalam jima’ dan muqoddimah tadi. Ada yang berpendapat pula bahwa rujuk adalah dengan jimak saja baik disertai niat atau tidak. Dalam pendapat yang lain, rujuk itu hanya teranggap dengan ucapan, tidak dengan jima’ dan selainnya.
Pendapat yang pertengahan dalam masalah ini adalah rujuk itu teranggap cukup dengan jima’ namun dengan disertai niat. Inilah pendapat Imam Malik, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Alasannya karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Apakah Rujuk Butuh Saksi?
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (QS. Ath Tholaq: 2).
Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk tetap butuh saksi bahkan diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat. Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[10]
Talak Roj’iy Mengurangi Jatah Talak
Sudah kita ketahui bahwa batasan talak adalah tiga kali. Jika seseorang telah mentalak istri sekali, maka masih tersisa kesempatan dua kali talak. Jika suami itu rujuk, maka tidak menghapus talak yang terdahulu. AllahTa’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)[11]
Pembahasan ini masih berlanjut pada pembahasan talak ba-in. Semoga Allah memudahkan bagi kami untuk menyusunnya.
Wallahu waliyyut taufiq.

widgeo.net