Iklan video

Jumat, 23 November 2012

PENDIDIKAN KARAKTER: Peran Sekolah dan Keluarga


PENDIDIKAN KARAKTER: Peran Sekolah dan Keluarga

Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif  dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif  9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan Kemendikbudnas  mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.
Keragaman Budaya dan Multikulturalisme
Padahal dengan membangun karakter kita dapat memperkokoh jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural, yang memiliki berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu kekayaan bangsa ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara konstitusional, baik dalam UUD 1945, Pancasila  maupun dalam prinsip negara bhinneka tunggal ika, keragaman budaya itu sudah mendapatkan landasannya yang kuat.
Pengakuan terhadap keragaman budaya itu hampir sama sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan pada ‘politik pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap warga memiliki posisi yang setara satu sama lain. Tak kurang pentingnya, pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip saling menghormati dan menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Keragaman budaya dan multi-kulturalisme di tanahair kita dapat terancam jika masing-masing entitas dan kelompok budaya hanya mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat yang sama kurang atau tidak menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan pada keragaman budaya mesti tidak dipandang telah selesai atau dibiarkan berkembang dengan sendirinya; sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus melalui berbagai jalur interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya.
Dalam konteks itu kita juga mesti memperkuat bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan; berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis dan keadaban; menghargai tinggi law and order; berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.
Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi” korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu kembali berbicara tentang pendidikan karakter.

Peran Keluarga

Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa  pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dariummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan  ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasarmawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Pendidikan Nilai

Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).
Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan jatidiri bangsa.
Wallahu a`lam bish-shawab.

Bibliografi

Azra, Azyumardi, 2006,  “Faith, Values, and Integrity in Public Life”, makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan The World Banl, 9-12 April, 2006.
Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan NasionalRekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.
Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50 Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era Reformasi”, pokok-pokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag RI, Jakarta, 2 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.
Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House.
Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
*Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang; dan juga pernah menjabat Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (Mei 2007-Oktober 2009). Sebelumnya, dia adalah Rektor IAIN/UIN selama dua periode (1998-2002, dan 2002-2006). Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Komite Akademis Aga Khan International University London (2006-8); anggota Dewan Penasehat Centre for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne); anggota Board of Trustees International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang); anggota Presidium ICMI (2006-2010).
Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA.
Dia mempresentasikan makalah pada banyak seminar dan konperensi baik di dalam maupun luar negeri; dan telah menerbitkan lebih dari 23 buku; di antaranya dalam bahasa Inggris: editor, Shari’a and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2005); Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashagate: 2008); dan (co-editor), Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges of 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Dia juga anggota Dewan Penasehat UNDEF New York (2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sampai sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion (2004-sekarang); Council on Faith, World Economic Forum, Davos, Swiss (2008-sekarang); Bali Democracy Forum (2008-sekarang).
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 ia mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas jasanya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada Juli 2010 ia mendapatkan penghargaan Honorary CBE (Commander of the Order of the British Empire) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban.
Oleh: Azyumardi Azra*  Disampaikan pada seminar ‘Pendidikan Karakter Teguhkan Pribadi Bangsa’ yang terselenggara atas kerja sama PT Penerbit Erlangga dan Himpunan Mahasiswa Biologi, FMIPA, UNNES Semarang, Minggu, 23 September, 2012

Ciri-ciri dan Masalah Pendidikan di Indonesia


Ciri-ciri dan Masalah Pendidikan di Indonesia

BAB I


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
  1. Rendahnya sarana fisik,
  2. Rendahnya kualitas guru,
  3. Rendahnya kesejahteraan guru,
  4. Rendahnya prestasi siswa,
  5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
  6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
  7. Mahalnya biaya pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
  1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
  2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
  3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
  4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
  1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
  2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
  3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
  4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
  1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
  1. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
  1. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
2.2 Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
  1. Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
  2. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta gender.
  3. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
  4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
  5. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
  6. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
  7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
2.3 Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
2.3.1 Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2.3.2 Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
2.3.3 Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
2.3.3.1 Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2.3.3.2 Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
2.3.3.3 Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
2.3.3.4 Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
2.3.3.5 Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2.3.3.6 Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
2.3.3.7 Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
2.4 Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
  1. Rendahnya sarana fisik,
  2. Rendahnya kualitas guru,
  3. Rendahnya kesejahteraan guru,
  4. Rendahnya prestasi siswa,
  5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
  6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
  7. Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
3.2 Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymous,2000.The World Economic Forum Swedia .Diakses dari   http://forum.detik.com.Tanggal 10 Desember 2009.
Anonymous,2000. Efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com. Tanggal 10 Desember 2009  Anonymous,2009. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari  http://www.detiknews.com. Tanggal 10 Desember 2009
Anonymous,2009. Sistem pendidikan .Diakses dari
http://www.sib-bangkok.org. Tanggal 10 Desember 2009.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anonymous,2009.Masalah-pendidikan-di-indonesia.Oleh     http://www.sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/Lhani di/pada Maret 8, 2009.

Rabu, 14 November 2012

DIALOG UANG Rp.1000 DAN Rp. 100.000

Uang Rp 1000 dan Rp 100.000 sama2 terbuat dari kertas, sama2 dicetak dan dari Bank Indonesia..
Pada saat bersamaan mereka keluar dan berpisah dari Bank dan beredar dimasyarakat..
3 bulan kemudian mereka bertemu lagi secara tidak sengaja didalam dompet seorang pemuda..
Kemudian diantara kedua uang tsb terjadilah percakapan yg Rp 100.000 bertanya kepada yg Rp.1000, ...
"kenapa badan kamu begitu lusuk,kotor,dan bau amis...?"
dijawablah olehnya "karena aku begitu keluar dari Bank langsung ditangan orang2 bawahan dari tukang becak, tukang sayur, penjual ikan dan ditangan pengemis" lalu Rp 1000 bertanya balik pada Rp 100.000,
"Kenapa kamu kelihatan begitu baru,rapi dan masih bersih?" dijawabnya, "karena begitu aku keluar dari Bank, langsung langsung disambut perempuan cantik dan beredarnya pun di restauran mahal, di Mall dan  juga dihotel-hotel berbintang serta keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet" lalu Rp 1000 bertanya lagi," pernahkah engkau mampir ditempat Ibadah? " dijawablah..."Belum pernah" Rp 1000 pun berkata lagi," ketahuilah walaupun keadaanku seperti ini adanya, setiap Jum'at aku selalu mampir di MESJID dan ditangan anak2 Yatim,
bahkan aku selalu bersyukur kepada TUHAN. Aku tidak dipandang manusia bukan sebuah nilai tapi yg dipandang adalah sebuah manfaat... "
Akhirnya menangislah uang Rp 100.000 karena merasa besar, hebat, tinggi tapi tidak begitu bermanfaat selama ini. Jadi...bukan seberapa besar penghasilan Anda, tapi seberapa bermanfaatnya penghasilan anda itu.
Karena kekayaan bukanlah untuk kesombongan... Semoga kita termasuk golongan orang2 yg selalu mensyukuri nikmat dan memberi manfaat untuk semesta alam serta dijauhkan dari sifat SOMBONG..

Aamiin ...
Semoga Bermanfaat... ALL friends..
Kurikulum Pendidikan Karakter



Apa Itu Karakter?

Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.


Beda Karakter dan Kepribadian (Sifat Dasar)

Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu : Koleris – Sanguinis – Phlegmatis – Melankolis.

Nah, Karakternya dimana? Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter.


Mengapa Seorang Anak Butuh Pendidikan Karakter?

Pada dasarnya, pada perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter


Ada 3 Cara Mendidik Karakter Anak:

1. Ubah Lingkungannya, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah.

2. Berikan Pengetahuan, memberikan pengetahuan bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan.

3. Kondisikan Emosinya, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.


Karakter apa yang perlu ditumbuhkan dan dibentuk dalam diri anak?
Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
Kemandirian dan Tanggung Jawab
Kejujuran atau Amanah, Diplomatis
Hormat dan Santun
Dermawan, Suka Tolong Menolong & Gotong Royong
Percaya Diri dan Pekerja Cerdas
Kepemimpinan dan Keadilan
Baik dan Rendah Hati
Karakter Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.



Saat ini kami memiliki 3 program pendidikan karakter yang menjadi fokus dari kurikulum kami, yaitu :
1. Training Guru

Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.

Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya.


2. Program Kurikulum Pendidikan Karakter

Kami memberikan sistem pengajaran dan materi yang lengkap (untuk 1 tahun ajaran) serta detail dan aplikasi untuk sekolah dan materi untuk orang tua murid. Materi ini telah diuji coba lebih dari 5 tahun, disamping itu dalam program ini ada pendampingan dan training khusus untuk guru.

Training khusus guru ini dikhususkan untuk menciptakan suksesnya pendidikan karakter disekolah, disamping pemberian materi yang “advance” dari program training guru pertama. Karena disini para guru akan mempelajari aspek psikologi manusia (bukan hanya anak, tetapi untuk dirinya sendiri) dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik pada dirinya, murid dan keluarga. Guru akan memiliki “tools” untuk membantu menciptakan anak yang berkarakter lebih baik.



3. Program Bimbingan Mental

Program ini terbagi menjadi dua sesi program :

Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.

Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.



Minggu, 23 September 2012

“Kamu boleh tidak pintar di sekolah, tapi kamu harus jujur!”

Nasihat tegas dari orangtua sejak saya belia yang selalu saya tanamkan di benak.

Harus jujur! Orangtua tidak menuntut saya jadi bintang kelas tapi nilai sayapun tidak boleh paling jelek di kelas. Namun orangtua saya jauh lebih bangga jika anaknya jujur. Saya ingat, dulu ketika kelas 5 SD, saya melakukan kenakalan, menggunakan ua
ng kelompok di sekolah untuk jajan. Saya yang dipercaya dan seharusnya menyimpan dengan baik uang itu, melanggar amanah. Ketika uang yang seingat saya jumlahnya pun tidak terlalu besar, mungkin dihitung dengan nilai uang sekarang sekitar Rp 50.000 harus saya kembalikan karena akan dipakai kelompok ketrampilan, saya lalu minta uang pada ibu saya dan mengatakan jika uang itu habis untuk jajan saya 2 minggu.

Ibu sayapun marah besar. Bahkan saya sempat merasakan cubitan di beberapa bagian tubuh. Kata ibu saya, ia tidak marah dan keberatan dengan jumlah uang yang hanya Rp 50.000 tapi karena saya sudah berbuat tidak jujur dengan melanggar amanah, menggunakan uang yang bukan milik saya. Mungkin ibu saya tidak pandai dalam mengomunikasikan maksudnya marah kepada saya, tapi beranjak dewasa baru saya sadari betapa orangtua saya, terutama ibu saya sangat tegas mendidik anak-anaknya untuk jujur, terutama soal uang. Berapapun uang kembalian harus saya kembalikan ketika orangtua meminta saya berbelanja sesuatu.

Kejujuran. Akhlak utama yang harus ditegakkan. Jujur ketika berbuat salah yang semua orang tahu pasti betapa sulitnya.

Namun orangtua zaman sekarang, lebih suka anaknya pintar dan cerdas, menguasai bahasa Inggris, daripada menjadi anak jujur. Orangtua lebih bangga anaknya bersekolah di sekolah bergengsi meski itu menuai konsekuensi menyogok. Orangtua lebih bangga anaknya mendapat nilai baik/tinggi di sekolah meski itu didapatnya dengan berbuat curang (mencontek), atau melakukan cara-cara yang menghalalkan segala cara.

Pendidikan karakter untuk anak bangsa yang kian lama kian tergerus oleh tuntutan zaman, tuntutan orangtua demi gengsi. Bahkan pendidikan karakter mungkin sudah tidak penting lagi karena nyatanya orangtua lebih sibuk mencari tempat kursus vokal, tempat kursus bahasa asing terbaik dengan biaya mahal daripada mendaftarkan anaknya ke Taman Pendidikan Al-Quran.

5 Nama Lain Indonesia di Masa Lalu

Sebelum bangsa Indonesia ini mengunakan nama Indonesia ternyata pada masa lalu bangsa kita telah memiliki nama lain yang telah dikenal banyak orang.

Nah berikut ini ada 5 nama lain bangsa indonesia di masa lalu, ingin tahu apa aja itu simak berikut ini. 

1. Hindia 
Nama Hindia ini adalah ciptaan dari Herodotus, seorang ahli ilmu sejarah berkebangsaan Yunani (484-425 Sebelum Masehi) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Sejarah. Adapun nama Hindia ini baru dipergunakan untuk kepulauan ini, oleh Ptolomeus (100-178 SM), seorang ahli ilmu bumi yang terkenal.. Dan nama Hindia ini menjadi terkenal sesudah bangsa Portugis di bawah pimpinan Vascvo da Gama mendapati kepulauan ini dengan menyusur sungai Indus, dalam tahun 1498 Masehi.

2. Nederlandsch Oost-Indie
Nama ini diberikan oleh orang-orang Belanda sesudah mereka berkuasa disini. Kemudian nama ini ditukar dengan “Nederlandsch Indie”. Seperti diketahui, bangsa Belanda untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dalam tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.

3. Insulinde
Nama ini diberikan oleh Eduard Douwes Dekker (multatuli) di dalam bukunya Max Havelaar dalam tahun 1860, kemudian nama ini dipopulerkan oleh Professor P.J. Veth. Multatuli membuat nama baru ini, oleh karena ia jijik mendengar nama Nederlandsch Indie yang diberikan oleh Belanda itu. Adapun asal usul perkataan tersebut ialah berasal dari perkataan “Insulair”, “Insula” dan “Indus”. Insula dalam bahasa latin yang berarti pulau. Indus berarti Hindia, sedangkan Insilinde artinya pulau Hindia.

4. Nusantara
Nama ini ditemui dalam perpustakaan India Kuno, yang menyebut negeri ini Nusantara. Adapun Nusantara atau Dwipantara artinya pulau-pulau yang berada diantara benua-benua. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan, bahwa Nusantara ialah pulau-pulau di luar tanah Jawa. Sedangkan dalam sejarah Melayu dipakai nama: Nusa Tamara. Nama inipun sesungguhnya berasal dari perkataan yang diucapkan Nusantara.

5. The Malay Archipelago
Nama ini diciptakan oleh Alfred Russel Wallace dalam tahun 1869, sesudah ia mengadakan perlawatan ke tanah air kita, dari tahun 1854 sampai dengan 1682. Adapun “Malay” artinya Melayu, “Archipel” yang berasal dari bahasa Yunani “Archipelagus” (dari asal Archi=memerintah, plagus= laut). Dengan demikian berarti menguasai laut atau berarti kumpulan pulau-pulau Melayu.






widgeo.net