Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan
ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya)
(QS 15:9).
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh
makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda
sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.
Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan
Allah di atas? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum 'Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: "Para orientalis yang dari
saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya."
1
Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya
saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi'ah
kontemporer, Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, yang
menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan
terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh
kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada
hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk
membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut
Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman
Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa
pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup
menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah
satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita
sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa
pergantian atau perubahan --tulis Thabathaba'iy lebih jauh--
adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang
diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat
ditemui sebagaimana keadaannya
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah,
juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat
bukti-bukti sekaligus jaminan akan
Huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada awal beberapa
surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran
sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan
atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan
oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan
jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him.
(Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara
bahasa Arab).
Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50,
ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19.
Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam surah
Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19.
Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan
sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya') dan (sin) pada
surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X
19. Kedua huruf (tha') dan (ha') pada surah Thaha
masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X
18.
Huruf-huruf (ha') dan (mim) yang terdapat pada
keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha'
mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni
masing-masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari
celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai
bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang
berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya
dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu
perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari
jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan
Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah
Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman
terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.
Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang terdapat di
celah-celah Kitab Suci tersebut.
Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau
tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua
bulan dan dua puluh dua hari.
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus
dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang
merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian
otentisitas Al-Quran.
(1) Masyarakat Arab, yang hidup pada masa
turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal
baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka
adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab --bahkan
sampai kini-- dikenal sangat kuat.
(2) Masyarakat Arab --khususnya pada masa turunnya
Al-Quran-- dikenal sebagai masyarakat sederhana dan
bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki
waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman
pikiran dan hafalan.
(3) Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan
kesusastraan; mereka bahkan melakukan
perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu
tertentu.
(4) Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi
keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja
bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir.
Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum
musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya
mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum
Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa
Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini
bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan
dunia dan akhirat.
(5) Al-Quran, demikian pula Rasul saw., menganjurkan
kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan
mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat
sambutan yang hangat.
(6) Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka,
mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka
alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi
sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya
dan proses penghafalannya.
(7) Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi,
ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para
sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati
dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita
tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda
Rasul-Nya.
Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan
dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak
riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan
sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam
peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah
wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh
puluh orang penghafal Al-Quran.
4
Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat
Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu
Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi
juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat
yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang
dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru
saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan
setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis
dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang
binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan
ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan
alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya
disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat
Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh
Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.
5
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi
peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang
gugur. Hal ini menjadikan 'Umar ibn Al-Khaththab menjadi
risau tentang "masa depan Al-Quran". Karena itu, beliau
mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan
tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul.
Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut
--dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak
dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a.
dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu
tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka
melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima
tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan
--apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh
Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu
Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi,
Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan
kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat
Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian
diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a.
memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu
naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat
lain.
Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis
atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang
dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas
inisiatif sendiri.
Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan
adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan
kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal
ayat Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma
'anittun harish 'alaykum bi almu'minina Ra'uf al-rahim (QS
9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw.
tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut
ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi
Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid
menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan
naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka
memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat
dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa
Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan
tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan
dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan bahwa
Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang
dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan
bahwa masing-masing kata yang menghimpun
Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19,
kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah
sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata
Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan
Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan
kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu
ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan
ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah
Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh
Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut
diakhiri dengan kata rahim.
Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna,
seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah
di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat
Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja
benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila
dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk
sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X
19.
Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti yang
dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan
ayat-ayat Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin
terpeliharanya Kitab Suci ini, antara lain berkat upaya kaum
beriman.
Catatan kaki
Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy,
Beirut, t.t., h. 50.
Al-Thabathabaly, Al-Qur'an fi Al-Islam, Markaz I'lam
Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah,
Teheran, h. 175.
Asrar Al-Qur'an, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1981, h. 64-65.
Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan i 'Ulum Al-Qur'an,
Al-Halabiy, Kairo, 1980, jilid 1, h. 250.
Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya
adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti
kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya
bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya
untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS
52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah
semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan
114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu
surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat,
menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih
kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS
2:23).
Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan:
Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang
serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).
Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian
lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali
jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat
yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan,
karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan
sebenarnya bersumber dari Tuhan."
Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad,
tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh
umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama,
atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at,
dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju
sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup,
membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun
membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan
seseorang menuju air kehidupan itu.
Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan:
ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula
yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada
yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan
perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu
lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai
ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang
memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya
dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.
Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas
demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan
peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh,
kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya
membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat
jauh itu?
Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia
seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya
sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi
menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati,
maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan
menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas
bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan
terjadi setelah kematian.
Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu"
yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit
kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang
Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan
peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".
Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan
langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh
informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang
tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran
untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka
yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.
Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai
informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi
itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia
terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus
dari Tuhan.
Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi
bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut
merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka
--sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan.
Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai
"mukjizat".
Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat
yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan
karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu
tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw.
Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan
pun hingga akhir zaman.
Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat
pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak
mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu
harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan
dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah
terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.
Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat
menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus
menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang
disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila
diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai
membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di
tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal
peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau
dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang
tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon,
sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah
tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan
"tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga
menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau
menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau
(baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai
berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini,
khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa
bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui
"perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu
atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu
pemahaman aspek pertama ini.
Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara
spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari
peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat
ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya
spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir
dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi
teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan
dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang
redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat
menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat
serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti
keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an
Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian
banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita
simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan
antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing
sebanyak 145 kali;
- Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat),
masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4
kali;
- Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan),
masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq
(kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
- Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin),
masing-masing 8 kali;
- Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk
definite, masing-masing 17 kali;
- Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk
indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin),
masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan
sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani),
masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh),
masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati
[jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan
Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49
kali;
- Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16
kali.
C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan
jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan),
masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan),
masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq
(neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
- Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat
(kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
- Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka),
masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan
kata penyebabnya.
- Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah
(ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan
(lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang),
masing-masing 6 kali;
- Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan),
masing-masing 60 kali.
E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut,
ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal
sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun.
Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural
(ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya
tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat
dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh."
Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula,
yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44,
Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3,
dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya
langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam
tujuh ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik
rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa
berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan),
keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang
dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan
pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita
rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di
atas.
Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun,
yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah
Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan
Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi
pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui
hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200
tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun
1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja
Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti
bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang
pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8
Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir
untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang
ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang
diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan
dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta
peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang
tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas
ini.
Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat
ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya
diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari
bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah
pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS
10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma
pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya
bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya
yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada
abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah
Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha
Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi
bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran
adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta
secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.
Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
Periode Turunnya Al-Quran
Dakwah menurut Al-Quran
Tujuan Pokok Al-Quran
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan
juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life
yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di
akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial:
berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran
ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya
(QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan
akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan
dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut;
dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan
keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu:
Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr
(Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang
diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS
16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw.,
Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar
memperhatikan dan mempelajari Al-Quran:
Tidaklah mereka memperhatikan isi
Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS
47:24).
Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini
beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi
hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata
lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan
Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama
pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu
pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek
kehidupan.
Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses
yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan
generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science
and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita
menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa
pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila
dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung
pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara
Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di
Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di
satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat
mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan
ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat
mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.
Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita
terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan
memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan
agama dan sejarah perkembangan manusia pada
generasi-generasi yang akan datang.
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan
susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi,
tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode
penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas
satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan
dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak
terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak
persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan
hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan
dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda
kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula,
ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan
tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama
tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat
216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum
berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan
anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa
ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup
didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh
penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan
antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan
masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak
menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini
membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan
kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab
ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui
periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode
tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya
Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan
(2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada
periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat
yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah.
Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam
tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan
kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari
ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat
Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan
tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu
pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu
pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak
ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru
setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk
menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya
firman Allah: "Wahai yang berselimut,
bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar
dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw.,
dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya:
Wahai orang yang berselimut, bangunlah
dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah
pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah
memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak
darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah
Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya:
Wahai orang yang berselimut,
bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya,
yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan
bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena
Sesungguhnya kami akan menurunkan
kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya:
Berilah peringatan kepada keluargamu
yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat
sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu.
Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah:
aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS
26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau
demi suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan
af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang
diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis
Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena
yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula
persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah
SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah,
serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup
masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya,
dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka
yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang
menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim
serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah
menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat
Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal
pokok:
- Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik
ajaran-ajaran Al-Quran.
- Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak
ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24),
keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi
nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya
maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang
digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim
memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang
tinggal untuk kami."
- Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan
Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung
selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara
gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam
menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi
kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang
mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu
terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua
--termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak,
silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban
prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika
itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan
Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta
bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS
16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang
pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari
kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah
wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu
sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum
'Ad dan Tsamud" (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung
argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian
hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat
dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan
perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka
berkata: "Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?"
Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah
Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha
Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu,
wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu
dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan
langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu?
Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui.
Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya
memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS
36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam
membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi
berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang
sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak
huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan
Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa
tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur;
bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan
bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup
memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga
mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio
dan alam pikiran sehat.
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah
dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena
penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama
Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama
sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa,
problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang
diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan?
Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl
Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu
diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat
seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan:
Tidakkah sepatutnya kamu sekalian
memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak
mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan.
Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih
berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang
yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan
perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka;
dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati
segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas
disertai dengan konsiderannya, seperti:
Wahai orang-orang beriman,
sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala,
bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh
karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat
kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan
kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu
disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta
memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka
karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut
(QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat
yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh
setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti:
Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali
setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya.
Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian
mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim
menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka
untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan
akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam
bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara,
aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum
Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah
ayat-ayat penenang yang berbunyi:
Janganlah kamu sekalian merasa lemah
atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi
(menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat
luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa.
Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di
antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman
dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya
Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS
3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan
orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada
orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik.
Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar,
sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat
yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah:
Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli
kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke
satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah
kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang
bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah:
"Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim"
(QS 3:64).
Dakwah menurut Al-Quran
Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa
ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun
sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat,
hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang
berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu
berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah
penegasan dari Allah SWT: Hari ini
telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat
untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu
(QS 5:3).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran
disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang
diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di
sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan
adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan
ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan
yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran
hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau
pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk
dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan
sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan
terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan
dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat
melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi
masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode
yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan
dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam
menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada
batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih
mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat
sepanjang masa.
Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh
bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya,
ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun
dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat
Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan.
Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan
kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga
menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi
Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat
dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam
situasi dan kondisi apa pun?
Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh
Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat
dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai
wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu
argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga
penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi
segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul,
termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya
Al-Quran?
Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun
yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam
bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam
masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang
demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia
hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat
diterapkan dalam suatu masyarakat.
Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat
universal untuk memulai penyebarannya di forum
internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan
ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan
itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi
dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah
berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat
tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot
proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat
pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa
diturunkannya saja.
Tujuan Pokok Al-Quran
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil
kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
- Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut
oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan
Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari
pembalasan.
- Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
atau kolektif.
- Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran
adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus
ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat."
Catatan kaki
the Modern World, hal. 180.
Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab
Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74.
Sistem Penalaran menurut Al-Quran
Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Perkembangan Tafsir
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita
peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula
dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk
bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah
antara yang hak dan batil. (QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu
pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat
para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir
Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa
seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang
kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w.
1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya,
Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para
sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang
tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara
mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh
cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula
dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih
tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan
sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan
bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas
atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum
dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat
adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu
pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran
yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah
mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social
psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of
scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat
yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama
mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah
keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori
tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau
petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan
hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa
Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan
adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang
dipergunakan menuju tercapainya masalah
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu
pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang
tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan
syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh
negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak
hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada
masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim
yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan
penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter
dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia
hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar
kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi
korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri.
Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial
dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah
kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu
pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan
untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah
berfirman: Katakanlah hai Muhammad:
"Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu
berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri,
kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang
dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi
kemajuannya.
Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi
perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia
sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap
perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai
suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai
baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai
hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan
pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan
primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan
yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari
penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik,
bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan
jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase
kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan
atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu
sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang
menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam
pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian
segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah
Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa
ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya,
sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan
pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah
saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini
lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru
sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai
tingkat kedewasaannya.
Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk
dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya
hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah
ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali
seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah
jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke
agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi
kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah
akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur
kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi
--sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir--
menunjukkan "istifham taubikhi
yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah"
hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan
kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan
penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi
sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini
juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam
masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
merupakan ujian kepada mereka:
Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak
mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai
ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat.
Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai
Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu
ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang
kalian tidak ketahui? (QS 3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang
berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data
objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan
tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk
iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang
kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi,
Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya.
Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol
pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa
Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa
penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak
dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting
daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim
ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan
mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil
penemuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk
kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di
akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah
mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal
pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa
mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam
semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap
penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat
mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau
dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan
tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan
dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan
hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu
pengetahuan.
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang
tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah
bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap
salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di
abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih
berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu
saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang
ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu
diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah
kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan
dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi
yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah
mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat
perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata
nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan
tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam
penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan
ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin
Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak
mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya
dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar
dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di
suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang
kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti
lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang
yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah
--terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan
kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering
kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan
pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang,
misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat,
padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu
masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam
kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat
mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera
terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan
dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa
bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan
pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa
bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan
tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak
pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang,
ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat
membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada
Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya
menyatakan saling bergantinya "psychological states"
(keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh
sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari
ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala
undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan
subjektif.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat
dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta,
objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata
seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun
tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang
dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran
ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan
mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan
dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan
ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti
benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai
dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum
mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada
musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri
untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan
petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu
teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian
juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya
tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa
ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan
peredarannya mengelilingi matahari.
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat
mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga
berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap
ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah
bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat
abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab:
"Di bumi apakah aku berpijak, dengan
langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam
Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya
mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan
jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn
Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau
berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit
pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin
'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan
lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama
berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti:
pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw,
sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu
Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain
sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan
ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau
pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian
berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah
hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang
bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan
kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini
mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang
menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan
pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau
pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir
yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat
terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih
(menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan
Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab
yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi
sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak
dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat
sempit.
Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian
beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar
penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada
pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan
yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas
arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib),
seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis
kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang
memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti
Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan
filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti
Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan"
kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.
Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa
"Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang
telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan
pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang
berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."
Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung.
Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari
penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga
sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab
Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika
disinggung dengan sangat luas.
Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di
dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas
yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian
ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu
Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran
yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan
baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat
ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet
tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan
oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10
planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi
langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam
lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh
angkasa raya.
Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki
seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta
didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.
Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh
berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru.
Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia
memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas
nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu
akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala
sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang
membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti
pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori
tersebut.
Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian
cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin
(1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang
membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit
dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori
tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin,
'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya,
Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam
mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang
meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir
proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran
dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya
mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai
pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis
makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut
Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan
lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut,
bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan
penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada
sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori
evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu
sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah,
sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS
71:13-14).
Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang
kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah
Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai
dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses
kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia
sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna
bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17)
dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang
menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis,
ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan
dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi
ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran.
'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya
Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang
mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri
mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran
argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh
mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka
tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari
tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan
penafsiran-penafsiran lainnya."
14
Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam
majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila
teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang
satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan
satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal
dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin.
Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan
Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang
dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa
dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan
ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah
ilmiah, bukan persoalan agama sedikit
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori
ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu
teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran
Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena
apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau
sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang
sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh
kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan
ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu:
Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain
Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah
dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS
6:108).
Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena
cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada
Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan
membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat
Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas
persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas
secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada
ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu
kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau
diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti
firman Allah SWT:
Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak
mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut,
kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya
merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak
diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau
dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat
tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk
mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa
ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat
dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan
planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai
terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa
ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan
pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat
panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa
terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua
matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu
sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk
menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak
berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut
dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya.
Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut
sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga
tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran
kecuali bila ia membawakan satu nash yang
membatalkannya.
Catatan kaki
8 Jumlah yang populer dan
luas dipegang adalah 6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini tidak
diketahui dasarnya. Terdapat juga pandangan lain. Perbedaan
jumlah ini disebabkan oleh perbedaan cara menghitung
basmalah di setiap awal surat sebagai ayat tersendiri. Juga
ayat seperti Alif lam mim, dan lain-lain.
9 Terbitan Dar Al-Irsyad,
1969, h. 30.
mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk
melakukannya.
Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud,
Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15.
Al-Muhith, Dar Al-Fikr, Kairo 1979, Jilid I, h. 13.
'Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar
Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171.
1327/September 1909.
Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Ciri khas nya
Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran
Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas?
Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini?
Kesimpulan
Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh
Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah
untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta
mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan
penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan
kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan
dalam tafsirnya: "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan
Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada
manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni
serta aneka warna pengetahuan."
16
Didalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari
datang seseorang kepada Rasul dan bertanya:
"Mengapakah bulan kelihatan kecil
bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna
pumama?" Lalu, Rasulullah saw., mengembalikan,
jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang berfirman:
Mereka bertanya kepadamu perihal
bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi
manusia dan mengerjakan haji (QS 2:189). Jawaban
Al-Quran bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai
dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai "ruh", lalu Al-Quran
menjawab: Mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakan: "Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu
sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan." (QS
17:85).
Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan
pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah,
tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia
demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.
Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat
tersebut, lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini
(kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa
Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk
menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam
alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan
Dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat
ma farrathna fi al-kitab min
syay' (QS 6:38) dan ayat: wa
nazzalna 'alayka al-kitab tibyanan likulli syay' QS
16:89) adalah bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikit pun
dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok
Al-Quran, yaitu masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak,
bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa
ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas?
Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi
tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik
atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial
dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar
umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan
kemajuan ilmu pengetahuan, dan di lain pihak mereka
merasakan kelemahan umat serta kemunduran dalam lapangan
kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang serupa ini
menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex
pada sebagian besar kaum Muslim.
Para cendekiawan Islam berusaha memberi reaksi walaupun
dengan cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang
mengambil sifat apatis, acuh tak acuh terhadap kemajuan
tersebut; ada pula yang dengan spontan meletakkan senjata
untuk menyerah dengan mengikuti segala sesuatu yang bercorak
Barat --meskipun dalam hal-hal yang menyangkut kepribadian
atau adat-istiadat. Adapula yang menentang haluan ini dengan
mengajak masyarakat Islam menerima dan mempelajari ilmu
pengetahuan dan sistem yang dipergunakan Barat dalam
mencapai kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian atau
prinsip-prinsip agama.
Bukan tempatnya di sini membicarakan sejarah perkembangan
pemikiran umat Islam dari masa ke masa. Tetapi satu hal yang
tidak dapat diingkari adalah bahwa sebagian umat Islam sejak
pertengahan abad ke-19 diliputi oleh perasaan rendah diri
dan berusaha mengadakan kompensasi atau melarikan diri
dengan bermacam-macam cara. Salah satu caranya ialah
mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek
moyang, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan
adab al-fakhri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan
kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran
masyarakat Islam sangat besar dalam menafsirkan
Al-Quran.
Setiap ada penemuan baru, para cendekiawan Islam
cepat-cepat berkata: Al-Quran sejak lama, sejak sekian abad,
telah menyatakan hal ini; Al-Quran mendahului ilmu
pengetahuan dalam penemuannya; dan sebagainya, yang semua
itu tiada lain adalah kompensasi perasaan inferiority
complex tadi. Di lain pihak para penemu tadi hanya tersenyum
mengejek melihat keadaan umat Islam, dan senyuman itu
terkadang disertai dengan kata-kata sinis: Kalau demikian
mengapa tuan-tuan tidak menyampaikan hal ini sebelum kami
menghabiskan waktu dalam penyelidikan?
Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama
merupakan obat bius yang dapat meredakan rasa sakit,
meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya. Ia
hanya sekadar memberikan jawaban sementara terhadap
tantangan Barat. Di balik itu ia menunjukkan kelemahan umat.
Memang, mengingat kejayaan lama kadang-kadang dapat
merupakan pendorong untuk maju ke depan, atau
setidak-tidaknya dapat menjaga kepribadian masyarakat.
Tetapi kita juga harus waspada dan berhati-hati terhadap
pengaruh-pengaruh negatif dari cara demikian yang bila
berlarut-larut dapat membekukan pemikiran. Membanggakan
kejayaan lama dapat membangkitkan emosi dan memberikan
kepuasan, tetapi ia juga dapat menimbulkan negatifisme dan
konservatifisme; sementara kedua sifat ini tidak sejalan
dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan
progresif.
Faktor kedua yang menjadikan sebagian cendekiawan Islam
membenarkan satu teori ilmiah, menurut hemat kami, adalah
akibat pertentangan yang hebat antara gereja dan ilmuwan
sejak abad ke-18 di Eropa. Pertentangan ini disebabkan oleh
karena penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru yang
menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan
kesuciannya, sehingga siapa yang mengingkarinya dianggap
kafir (keluar dari agama) dan berhak mendapat kutukan. Di
lain pihak para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan
ilmiah, tetapi hasil penyelidikan mereka bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut oleh gereja.
Pertentangan antara kedua belah pihak terjadi ketika
ilmuwan menyatakan bahwa umur dunia --berdasarkan penelitian
geologi-- lebih tua daripada umur yang ditetapkan oleh
gereja yang berdasarkan penafsiran Kitab Suci. Pertentangan
ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin (1859)
tentang The Origin of Man dan teori-teori lainnya, yang
semua itu dihadapi gereja dengan cara penindasan dan
kekejaman. Akibatnya tidak sedikit ahli-ahli ilmu
pengetahuan yang menjadi korban hasil penemuannya, seperti
Galileo, Arius, Bruno Bauer, George van Paris, dan
lain-lain. Hal ini menimbulkan keyakinan di kalangan umum
bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Di sini
kita tidak bermaksud menceritakan sejarah agama Kristen,
tetapi pada butir terakhir ini kita ingin berhenti sejenak
untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap alam pikiran
cendekiawan Muslim.
Dalam dunia Kristen timbul golongan pembela agama yang
disebut "apologetika" yang bertujuan menyucikan kembali
agama dari setiap anasir yang hendak diselewengkannya.
Pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan ini
(terutama dalam dunia Kristen) memberikan pengaruh kepada
sementara cendekiawan Muslim yang kuatir kalau-kalau
penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia Islam,
sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan hubungan
yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama
(terutama Al-Quran). Dari titik tolak ini, mereka sering
tergelincir karena terdorong oleh emosi dan semangat yang
meluap-luap untuk membuktikan tidak adanya pertentangan
tersebut di dalam agama Islam. Tetapi, sebenarnya mereka
terlampau jauh melangkah untuk membuktikan hal itu.
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli Falak,
Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, dan lain-lain cabang ilmu
pengetahuan, telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa
kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam bidang
tersebut sedang di saat yang sama mereka juga menjalankan
kewajiban agama Islam dengan baik. Tiada pertentangan antara
kepercayaan yang mereka anut dengan hasil penemuan mereka,
yang dapat dikatakan baru ketika itu --bahkan sebagian dari
hasil-hasil karya mereka masih dipelajari di negara-negara
modern hingga sekarang ini. Antara agama dan ilmu
pengetahuan tidak mungkin timbul pertentangan, selama
keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat. Manusia
mempunyai keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan, dan
keinginan mengetahui serta menarik kesimpulan sesuai dengan
akalnya. Bila kita mengingat kepentingan kedua hal itu, maka
tak mungkin terjadi pertentangan.
Richard Gregory dalam Religion in Science and
Civilization menulis: "Agama dan ilmu
pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban; agama
adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang
diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan
takzim; sedangkan ilmu pengetahuan merupakan tumpukan
pengetahuan tentang objek alam yang hidup dan yang
mati." Selanjutnya, dia berkata:
"Di dalam sinar kebaktian kepada
cita-cita tinggi, maka ilmu pengetahuan sangat perlu bagi
kehidupan kita dan agama menentukan arti hidup manusia;
kedua-duanya itu dapat menemukan lapangan umum untuk
bekerja, tanpa ada pertentangan antara keduanya."
Dalam proses memadukan ilmu pengetahuan dan agama,
sementara cendekiawan Muslim membawa hasil-hasil
penyelidikan ilmu pengetahuan kepada Al-Quran kemudian
mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya,
sehingga tidak heran kalau kita mendapati
penafsiran-penafsiran yang amat berjauhan dengan arti serta
tujuan ayat-ayat tersebut.
Dalam kitab Al-Quran wa Al-'Ilm Al-Hadits karangan
Al-Ustadz 'Abdurraziq Naufal, terdapat satu contoh yang
sangat nyata mengenai apa yang dipaparkan di atas, Ia
membahas ayat yang berbunyi: Dan
apabila telah dekat masa azab menimpa mereka. Kami keluarkan
seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan mereka
bahwasanya manusia tiada menyakini ayat-ayat/tanda-tanda
kebesaran Kami (QS 27:82). Ayat ini menurutnya
membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar.
Selanjutnya, ia mengatakan:
"Sesungguhnya Rusia telah meluncurkan
pesawat angkasa yang mengangkut binatang-binatang, kemudian
mereka mengembalikannya ke bumi, sehingga binatangbinatang
tersebut berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang
sangat nyata dan mengungkapkan sebagian dari misteri yang
meliputi alam semesta yang penuh keajaiban ini."
Di sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih tepat
dari apa yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. 'Abdul-Wahid
Wafi, salah seorang dosen penulis pada Universitas Al-Azhar:
"Mungkin dia mengira bahwa anjing
bernama 'Laika' (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke angkasa
luar) telah berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca
manusia karena tidak mempercayai tanda-tanda kebesaran Tuhan
yang nyata."
Di Indonesia, ayat 33 surah Al-Rahman dijadikan dasar
oleh sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa
Al-Quran membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar.
Mereka menyatakan bahwa sejak 14 abad yang lalu, Al-Quran
telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang
angkasa selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan
ilmu pengetahuan. Kita tidak mengingkari bahwa manusia
mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan
planet-planet lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di
bulan. Tetapi sulit dimengerti hubungan ayat ini dengan
persoalan tersebut.
Menurut hemat penulis, ayat ini membicarakan keadaan di
akhirat kelak, yang menyampaikan tantangan Tuhan kepada
manusia dan jin. Ayat tersebut berarti:
"Wahai sekalian manusia dan jin bila
kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi
untuk melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang
kami adakan, maka keluarlah, larilah. Kamu sekalian tidak
dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang kalian tidak
mempunyai kekuatan."
Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan ketidakmampuan
kedua golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Ayat
tersebut dipahami demikian mengingat ayat sebelumnya yang
berbunyi: Kami akan menghisab
(mengadakan perhitungan) khusus dengan kamu wahai manusia
dan jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu yang
kamu ingkari? Wahai golongan jin dan manusia bila kamu
sekalian sanggup untuk keluar dari langit dan bumi
... (QS 55: 31-33).
Perhitungan khusus atau hisab tersebut akan diadakan di
hari kemudian, bukan di dunia. Kalaulah ayat
Ya ma'syar al-jinni wa al-insi
tersebut dianggap membicarakan keadaan di dunia dan
menunjukkan kesanggupan manusia untuk melintasi angkasa
luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera
dibenarkan setelah memperhatikan ayat berikutnya, yang
berbunyi: Dikirim kepada golongan kamu
berdua (wahai jin dan manusia) bunga api dan cairan tembaga
sehingga kamu sekalian tak dapat mempertahankan diri (tak
dapat keluar dari lingkungan langit dan bumi) (QS
55:35).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha manusia dan
jin untuk keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal.
Dari sini hanya ada dua alternatif dalam menafsirkan
ayat-ayat tadi: Pertama, ayat 33 dari surah Al-Rahman
membicarakan persoalan dunia serta kesanggupan manusia
keluar dari lingkungan langit dan bumi dalam arti keluar
angkasa. Dan kedua, ayat tersebut membicarakan keadaan di
akhirat serta kegagalan manusia keluar dari lingkungan
langit dan bumi untuk melarikan diri dari hisab dan
perhitungan Tuhan.
Jika dipilih alternatif pertama, maka ini akan
mengakibatkan dua hal yang sangat berbahaya bagi pandangan
orang terhadap Al-Quran, yaitu
- Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya,
karena ayat 34 menerangkan kesanggupan manusia keluar
dari lingkungan langit dan bumi, sementara ayat 35
menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya.
- Al-Quran --dalam hal ini ayat 35-- bertentangan
dengan kenyataan ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan
kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi.
Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil mendarat
di luar lingkungan bumi (yaitu bulan).
Tetapi jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa
ayat-ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat, maka
tidak akan didapati sedikit pun pertentangan. Firman Allah:
Jika sekiranya Al-Quran datangnya
bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat banyak
pertentangan di dalamnya (QS 4:82).
Dalam ayat di atas tidak ada pertentangan, karena ayat
itu menerangkan ancaman Tuhan kepada manusia dan jin, dan
menyatakan ketidaksanggupan mereka keluar dari lingkungan
langit dan bumi untuk melarikan diri dari perhitungan yang
akan terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak mempunyai
kekuatan.
Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori ilmiah atau
penemuan baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin
akan timbul pertanyaan: kalau demikian apakah Al-Quran harus
dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan orang-orang
tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang,
wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang
dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf,
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Quran
merupakan "fardhu 'ayn".
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Quran.
Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai
dengan pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang
Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk mempergunakan akal
pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti
orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang
sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam
kebenaran) atau 'ala dhalal (dalam kesesatan).
Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja)
dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran
tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu.
Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami Al-Quran,
karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk
orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga
khusus untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini.
Tetapi Al-Quran adalah untuk seluruh manusia sejak dari
zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran,
diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Quran sesuai dengan
akal pikiran mereka. Benar, akal adalah anugerah dari Allah
SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang
dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka
sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan
serta pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup
seseorang. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menulis: "Kita
berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini
sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa
Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti
menafsirkan Al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau
penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para
cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para
ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul
dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Quran
tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pantangan.
Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama
menafsirkan arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang
menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid
atau segumpal darah yang beku. Penafsiran ini didapati di
seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan
dalam bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang
setengah beku. Al-'alaq yang diterangkan di atas merupakan
periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah dalam surah
Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof. M. Hasby
Ashiddieqi dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan
sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dari tanah yang
bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan
dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu
segumpal darah, lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari
daging itu Kami jadikan tulang, tulang itu Kami bungkus
dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk yang
baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan
sepandai-pandai yang menjadikan sesuatu."
Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa periode kedua dari
kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan
dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas
lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3) Al-Mudhghah;
(4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan
kebenaran Al-Quran, maka dia sulit menafsirkan kalimat
al-'alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut
embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga
periode:
1. Periode Ovum
Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena
adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan
sel ibu (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk
struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah
fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat,
delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan
ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian
melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini
dikenal dengan nama implantasi.
2. Periode Embrio
Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ.
Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama
sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan
zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim.
Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan
cacat bawaan.
3. Periode Foetus
Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan
dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat
dan berakhir pada waktu kelahiran.
Kembali kepada ayat di atas, kita melihat bahwa periode
pertama menurut Al-Quran adalah 'al-nuthfah, periode kedua
al-'alaq dan periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah --yang
berarti sepotong daging-- menurut Al-Quran (surah Al-Hajj
ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna
kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna).
Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi
dengan Al-Quran dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa
periode ketiga yang disebut Al-Quran sebagai al-mudhghah
merupakan periode kedua menurut embriologi (periode embrio).
Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting.
Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Quran sama
dengan periode ketiga atau foetus.
Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para mufassirin
diartikan dengan segumpal darah-- didapati pertentangan
antara penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah.
Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm dan
rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion.
Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah.
Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-'alaq
dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat
bahwa al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet.
Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa Arab, dan
sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi.
Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk
darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah
bergantungan atau berdempetan.
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti
al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan
berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-'alaq
adalah "sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila
diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di
Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan
sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya
al-qalb li taqallubihi.
20
Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas adalah:
- Al-Quran adalah kitab hidayah yang memberikan
petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam
persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
- Tiada pertentangan antara Al-Quran dengan ilmu
pengetahuan.
- Memahami hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan
bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau
penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi
dengan melihat adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong
lebih maju.
- Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah
berdasarkan Al-Quran bertentangan dengan tujuan pokok
atau sifat Al-Quran dan bertentangan pula dengan ciri
khas ilmu pengetahuan.
- Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran
teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran) adalah akibat
perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat
pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan
ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan
Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan
hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
- Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama
paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah
Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp
atau ketentuan bahasa.
Catatan kaki
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Qalam, Kairo, cet. II,
t.t., h. 21.
Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Kitab
Al-Lubnaniy, Beirut, 1974, h. 197.
Mufradat li Alfazh Al-Quran, diedit oleh Nadim Mar'asyli,
Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.
Arab berarti "berbolak-balik", karena sifatnya yang
berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta,
sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim
dinamai alaq (bergantung), karena keadaannya ketika itu
"bergantung"/berdempet.
Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan
ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga
hal pokok:
Pertama, tujuan.
- Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan
kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b)
Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain,
Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari
Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
- Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian
hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain
gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung
jawab, dan lain-lain.
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh
Al-Quran melalui empat cara:
- Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya,
langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan
sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya
tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari
kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan
segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di
mana ia hidup.
- Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk
memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
- Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang
dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia
datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya
dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya
diberikan oleh Al-Quran).
- Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin
dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat,
dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat
dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran
seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi
mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran
seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat dalam tiga
hal pokok:
- Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi
dari sastra bahasa Arab.
- Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
diisyaratkannya.
- Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah
terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan
secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa
Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu
juga berbicara tentang filsafat dalam segala bidang
pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret
menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan
fungsinya: memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan
memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang mereka
perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan
Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih
dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam
tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan
artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai "proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-32).
Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada
pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping
klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu
menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang
berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini
maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para
filosof --Muslim atau non-Muslim-- pada masa-masa silam,
atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara
lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam abad XX,
khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua
katagori:
- Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan
wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta
segala yang dapat diambil dari keduanya.
- Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains
kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara
kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan
pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan
Syari'ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli
filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk
dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh
pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah
diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini,
satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir
adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran
Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa
objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical
world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di
samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan
eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan
akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas
lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga
terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen
seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah
dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak
dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis)
dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang
tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu
realitas, tapi tidak ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak
boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena wilayah
mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya
alangkah banyaknya konsep abstrak yang mereka gunakan, yang
justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat
jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah
banyak pula hal yang dapat terlihat potensinya namun tidak
dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85).
Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak
mampu menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini dapat
dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh
Al-Quran dan yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan
dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di
atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas
pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan
kata lain dalam pengertian science yang meliputi
pengungkapan sunnatullah tentang alam raya (hukum-hukum
alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah
dalam kondisi tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika
berbicara tentang kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini
antara lain menganjurkan untuk mengamati alam raya,
melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk memahami
fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan
para ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan
yang sangat berarti antara pandangan atau penerapan
keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya
ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia
(antara lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tanda-tanda
wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan
penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran Al-Quran (QS
41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan
wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan
mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian
kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang merupakan
ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran
dalam menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan
tujuan yang sama. Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian
yang sempit ini sekalipun, harus berarti: "Pengenalan dan
pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu
di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing manusia ke
arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat
di dalam tatanan wujud dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang
"tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah
penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah
ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan
di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana
Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang
berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan
pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu
--dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu
pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi
rabbika. Maka ini berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk
kepentingan pribadi, regional atau nasional, dengan
mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu pada
saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr.
'Abdul Halim Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi
karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus dapat memberikan
manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya.
Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa
kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang
masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas,
disamping menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya
adalah intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya
manusia), juga menggarisbawahi bahwa segala sesuatu yang ada
di alam raya ini telah dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia
(QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya dan
ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda:
tafakkur yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang
menghasilkan teknologi guna kemudahan dan kemanfaatan
manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat menyatakan
tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan
mewajibkan-- usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi,
selama ia membawa manfaat untuk manusia serta memberikan
kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan
kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan kesukaran" (QS
2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan sedikit kesulitan
pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa segala produk
perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak
mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat
menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu
dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala
sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan
seorang pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang
pencuri yang memperoleh secercah cahaya di tengah gelapnya
malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar
suara-suara yang menggambarkan kesadaran tentang keharusan
mengaitkan sains dengan nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu
permusyawaratan ilmiah tentang "cultural relations for the
future" (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan
dalam laporannya tentang "reconstituting the human
community" yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut:
"Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan
kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan
spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan
oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari
dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau
menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu
penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual
atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara
universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia
atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran
Al-Quran menyangkut kehidupan manusia di alam raya ini,
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas
dalam masalah Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan
ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu
pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memang
terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang
berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal
pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di
tengah-tengah perkembangan ilmu, seperti:
- Teori tentang expanding universe (kosmos yang
mengembang) (QS 51:47).
- Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan
adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5).
- Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan
lapisan-lapisan yang berasal dari perut bumi, serta
bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS
27:88).
- Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam
mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia
melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan energi
(QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar
al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari
istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat tersebut
bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian
pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
- Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma
pria dan yang setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet
di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan
yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya
Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun
dalam Al-Quran yang bertentangan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan
iman", oleh Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan
saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan
pula hanya disebabkan karena ada dari ajaran-ajaran agama
yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika
atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga
karena Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara
sendirian atau bersama-sama dan kapan saja, untuk
membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan menandinginya
walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah Perkembangan
Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya?
Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat
sebelum permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan
jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu
pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar
keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini
disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat mengakar
(radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari
A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi
dimensi fisik dan teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang
mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat)
maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau, dengan
kata lain, objek penelitian filsafat mencakup
pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan
metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat tersebut,
maka pembahasan kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang
umum". Itu pun hanya dalam masalah yang menjadi pusat
perhatian pemikir dewasa ini dan yang merupakan penentu
jalannya sejarah kemanusiaan, yakni "manusia". Karena,
memang, dewasa ini orang tidak banyak lagi berbicara tentang
bukti wujud Tuhan atau kebenaran wahyu, tidak pula
menyangkut pertentangan agama dengan aliran-aliran
materialisme, tapi topik pembicaraan adalah "manusia" karena
pandangan tentang hakikat manusia akan memberikan arah dari
seluruh sikap dan memberikan penafsiran terhadap semua
gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah
satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk
lainnya, pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta
menganggap bahwa bumi tempat manusia hidup merupakan pusat
dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan oleh
Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia,
tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari
planet-planet yang mengitari matahari. Pandangan yang
didukung oleh penelitian ilmiah ini, bertentangan dengan
penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu lembaran
baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis
keimanan dan krisis lainnya.
Disusul kemudian dengan teori evolusi yang dikemukakan
oleh Darwin. Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya
diakibatkan oleh teori tersebut, tapi lebih banyak lagi
diakibatkan oleh kesan-kesan yang ditimbulkannya dalam
pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan masa
sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund
Freud yang mengadakan pengamatan terhadap sekelompok
orang-orang sakit (abnormal) dan yang pada akhimya
berkesimpulan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah "makhluk
bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh
libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari
Oedipus complex dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain
kecuali ilusi belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu
pengetahuan sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat
untuk lebih jauh menolak kekuasaan agama secara total yang
mengakibatkan pula kekaguman yang berlebihan kepada otoritas
sains yang terlepas dari nilai-nilai spiritual keagamaan,
dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia
II. Setelah itu terjadi beberapa hal yang mendasar: agama,
antara lain, mulai disebut-sebut walaupun dengan suara yang
sayup-sayup. Pretensi sains dipermasalahkan.
Eksistensialisme mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak
ada arah yang harus dituju, pergilah ke mana engkau sukai.
Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala
sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan kita.
Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan
kepada negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu
kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi
agama juga menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para
pengecut sehingga ia --demi mengalihkan manusia dari
eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di langit, dan
--untuk memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu." Demikian antara lain pandangan
Sartre, salah satu tokoh aliran ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada baiknya
kita mengutip pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan
fisika, kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau
menulis dalam buku kenamaannya, Man the Unknown, antara
lain: "Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan manusia
khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah
dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah
mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada
satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara
utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam
memahami hubungannya dengan alam sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang
mempelajari manusia hingga kini masih tetap tanpa jawaban,
karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam diri
(batin) kita yang tidak diketahui".
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena
keterlambatan pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia
dan kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor terakhir
adalah faktor permanen, sehingga tidaklah berlebihan
menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap
orang dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang
berjalan di tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat
dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan
pengetahuan dari pencipta Yang Maha Mengetahui melalui
wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah satu-satunya
makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia? Tidak
sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan
manusia adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali
dalam rangkaian Wahyu Pertama (QS 96:1-5). Manusia sering
mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui
kesadarannya tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di
bawah alam sadarnya (QS 30:43). Ia diberi kebebasan dan
kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya
masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran moral
untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai
dengan nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia
adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan
dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS 17:70) serta ia pula
yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga yang mendapat
cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS
14:34), dan sangat banyak membantah (QS 22:67). Ini bukan
berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama
lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi
untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang
rendah sehingga tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah,
kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan
kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan "tanah"
manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti
makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum,
hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan "Ruh" ia diantar
ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak
bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium atau
bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk
cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan,
pemujaan, dan sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada
suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas
dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu
(QS 53:42). Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja
dengan penuh kesungguhan menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu
menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan
berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak
terbatas, yang dimensinya melebar keluar melampaui dimensi
"tanah", dimensi material itu.
Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang
tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom,
tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk
mengemban satu tugas, Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia dibekali Tuhan dengan
potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan
di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta
ditundukkan dan dimudahkan kepadanya alam raya untuk
dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara lain,
ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta
dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam
perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam
panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula
Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan pandangannya. Keduanya
telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya, tapi yang
pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh
Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari
debu tanah menuju Tuhan Yang Mahaesa.
Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan
wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan
tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya
riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw.
sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka
setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin
Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu
Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa
masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang
tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang
telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam,
Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih
lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat
yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para
tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan
tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair,
Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada
Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di
Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan
(c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang
ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul
saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi
Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama
dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya
masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua
dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar
sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu
dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada
masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran
berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan
kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh
satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi
peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat
Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut
ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti
dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang
lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain
memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer,
menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan
arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh
ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka
(untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal."
22
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara
lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya
orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka
tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran
di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat
penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke
dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih
mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju
yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran
ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir
untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan
perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat
berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab
fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka
terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f) Bermula
pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak
tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju
kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak
tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat,
dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa
yang mudah dimengerti tapi indah didengar.
Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah
perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka
perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi
(penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode:
Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan
masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum
periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II,
bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa
pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir
ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis,
dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun
tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir
bi Al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan
kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang
oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H)
dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani Al-Qur'an.
Metode Tafsir
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula
ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari
bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam
perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat
diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan
Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai
dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat
menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta
tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan
menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering
dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat.
Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam
surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga
untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh
dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam
surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w.
1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang
dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang
mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda
tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun
kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk
penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut.
Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi
membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam
satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang
terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian
dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan
pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk
menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah
dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul
ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu
masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain,
dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir
dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir
tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan
kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua
pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam
Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan
yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan
persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut
antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat
Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai
ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut
sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas
itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi
metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan
terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut
urut-urutannya).
Catatan kaki
Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960, h. 111.
van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia
mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter
(ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington:
Indiana University Press, 1988, h. 182-183.
Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya
penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak,
misalnya, Muhammad Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut
tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Quran dengan
menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan
menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan).
Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad
saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana
pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan
tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik
mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna
yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda
akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi
yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya
secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal
Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum
menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti
kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan
keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman
Allah yang mereka dengar atau mereka baca
sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah
"
penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia
(mufasir)",
25
dan bahwa "
kepastian arti satu
kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin
dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau
ayat tersebut secara berdiri
sendiri."
26
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan
maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi
petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal
ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya
teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut
sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat",
misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang
kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara
dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan
penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami
atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi
penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya
sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya
sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat
dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau
dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya.
Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7)
sebagai "orang-orang Yahudi",
27
atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan
kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai
Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw.
bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan
antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan.
Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238
penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama
dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika
menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau
menafsirkannya dengan beribadah.
30
Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum.
Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah
mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS
14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan
Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena
kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi
tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita
ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang
diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak
dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak
menafsirkan semua ayat Al-Quran".
32
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah
disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah
masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebebasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan
kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap
mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama
tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa
Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat
kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan
yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan
turunnya Al-Quran.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang
dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi
juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan
sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan
berbeda satu dengan lainnya.
Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal
ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap
pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan
pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah
konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman
dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh
tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul
pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran,
sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam
setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat
menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam
kehidupan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang
bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang
kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa
mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut.
Pembatasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa
para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau
berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud
firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak
dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat
Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah,
menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab
berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada
alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga,
yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang
tidak diketahui kecuali oleh Allah.
33
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan,
yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan
(b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran
yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul
bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini
mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada
ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya
oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan
sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang
membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan
mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui
ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang
dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum
artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi
tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah
metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal
manusia.
Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut,
telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun
berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap
ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah
metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran
manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini
hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga
bersumber dari Nabi saw.
35
Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim
Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah,
tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia"
(QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul
Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli
Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip
"tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak
terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang
samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika
menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan
amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara
Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar
diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali
atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa
yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan
permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar
Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu
kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak
perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh
sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat
Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat
Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
38
Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang
mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara
umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a)
pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya;
(b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah
turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi
mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak
dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:
(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah
berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang
untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang
dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang
telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam
Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar
karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan
tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan
ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak
harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk
mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka
apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar
kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan
yang menyesatkan.
(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam
penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau
kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul,
hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial
masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap
siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu
pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai
disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang
mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan
menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga
bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan bahasa.
Perubahan Sosial
Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal
ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya
adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif
(QS 48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai
batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa
masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang
tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43;
48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang
terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia
baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan
pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Walaupun telah
disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah
(yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama
harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan
makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah
sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus
diperhatikan arti kandungannya atau
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran
dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat
Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami
teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu
dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya
Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu
dewasa ini.
Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi
setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan
untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah
mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola
yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap orang
berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan
pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang
dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran amat sulit diterima.
Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah
kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika
ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa
bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami
dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu
bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang
dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena
keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan
ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi
ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi
"jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika eksperimen
membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis
janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat
"Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan
(hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang
tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih
umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan,
bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa"
dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di
sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti
"hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan
"apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang
dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila
pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas
diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori
ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan
dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu,
pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan
mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang
pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab
Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil
penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran menggunakan
kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa
turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu
sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan
mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata
tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik
Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah
memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata
yang juga digunakan oleh Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu
kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang.
Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan struktur
serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan
ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap
setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata
tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa
pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk
menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang
kemudian.
Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus
Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa
pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh
ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan
memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari
sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan
manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara
lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang
berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di
sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu
dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya.
Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti
tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia
dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran.
Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu
memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia
kemudian terbukti keliru.
Catatan kaki
Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t.,
jilid II, h. 35.
Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.
jilid I, h. 29.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Al-Turmudzi.
h. 53.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy,
Mesir, 1957, jilid II, h. 164.
Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h.
3.
op.cit., h. 59.
Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut,
1980, h. 20.
'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h.
139.
Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit
Mizan, Bandung, 1984, h. 28.
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu,
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya,
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya
umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang
perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan
kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada
abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era
globalisasi dan informasi.
Corak dan Metodologi Tafsir
1. Corak Ma'tsur (Riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah
diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran.
Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi
saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal
menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada
penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh
yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn
Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam
firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47).
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya
adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa
yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas
dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut
dalam rangka memahami Al-Quran.
43
Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba'
at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan
kebahasaan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H)
merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy
maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor
kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula
Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan
bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan,
namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami
Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat,
sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab
tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian
kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga
pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab
al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum
yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat
dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat
tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada
di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan
ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan
dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin
membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan
itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan
kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah
kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.
Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup
beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi
kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam
menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka
yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan
penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir
yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat
tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak
mempunyai dasar (yang kokoh).
45
Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa
"Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat,
walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali
dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang
ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup
panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya.
Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan
dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda
bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan
ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan
riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa
antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan
tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan
perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak
terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu,
penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai
murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula
terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair
al-qurun (sebaik-baik generasi),
47
masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain,
pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi
berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan
masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan
metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi
yang cukup ketat.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan
dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y.
2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan
nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita
bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya
akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari
pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi
empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan
Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut
istilah dan kategorisasinya.
Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan
itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode
tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran
sebagaimana tercantum di dalam mushaf."
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir
tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata,
asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun
dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok
bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan
sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai
bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode
tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas,
namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan
kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan
kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di
dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang
Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia
telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks
ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang
selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau
"Inkuntum shadiqin".
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang
diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan
atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim
dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi
merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa
kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat
dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir
Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa metode
tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat
ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu
tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat
dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu
memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas
mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari
penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka--
adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat"
generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya
amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran
persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis
dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran
untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhu'iy
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau
"Biarkan ia menguraikan maksudnya") -- konon itu pesan Ali
ibn Abi Thalib.
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk
merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya.
Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan
sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh.
Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan
Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal
menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara
penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang
dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap
wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk
yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan
peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan
tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi
sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa
Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara
lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya
dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan
Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh
manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia
--termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh
budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh
dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat
perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang
ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang
dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama
dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang
dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat
(suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam
satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan
perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk
menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya
menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau
kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh
adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup
umat Islam --akidah, syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya
harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat
melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi
juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita
semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang
menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya
saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai
kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat
Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat
lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk
meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah
keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun
hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang
khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India,
misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai
etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala
suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan
Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita
semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk
pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan
kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai
tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif
masyarakat.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin
menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan
dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar
lain.
1. Asbab Al-Nuzul
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa
budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai
harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini
berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun
tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang
diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an
qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat
yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan
dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut
mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan
ayat yang turun di pentas bumi itu.
Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama
mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi
khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap
(pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan
sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya,
al-'ibrah bi khushush al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan
dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab
turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan: "Bukankah akan lebih
mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di
atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu
diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup:
(a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin
benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang
tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa
pelaku.
Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul
dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada
peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah
terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah
yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut paham al-'ibrah bi khushush al-sabab,
menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari
ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi
Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi
dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia
menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti
dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam
masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/
bersamaan dengan turunnya ayat"?
Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh
analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq,
al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha'
kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang
meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang
mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana
halnya pada masa Rasul dan para
Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid
adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq
far'i bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya
tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan,
tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban
agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas
sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran
dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang
pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan
pengertian qiyas.
2. Ta'wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak
jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam
pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan
dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan
bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui
maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak
pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit
sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih
pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau
metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna,
berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus
tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran
rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama
dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih
memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat
Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan,
sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman
keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi
itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni
Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut
aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai
"juru bicara Ahl Al-Sunnah".
55
Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya
dalam rangka memahami teks-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa
didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi
mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat
Al-Quran:
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat
kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab
klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat
kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang
dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh
masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa
popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan
lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang
bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna)
yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks
tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat
pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal,
sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan
makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena
itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup",
diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan
Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang
secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak
harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang
makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan
seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi,
pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia
yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak
terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat
membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah
kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan
datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi
bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata
berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor
kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila
bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan.
Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
Catatan kaki
Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy,
Mesir, 1989, h. 77.
Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h.
18.
Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142.
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H,
Jilid 1, h. 8.
Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984,
h. 62.
dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku,
kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul
lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai
generasi terbaik."
Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy,
Al-Hadharah AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23.
Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi
Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut,
1980, h. 10.
Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah
Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t., h. 58.
Al-Shadr, op.cit., h. 12.
Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III,
1980 Jilid I h. 125.
Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah,
Mesir, 1985, h. 22.
Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal,
Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90.
Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma'
Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92.
Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95.
(Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm
li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.
Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai
hudan li al-nas dan sebagai
Kitab yang diturunkan agar manusia
keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS
14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya
merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai
akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya
perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan
baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat.
Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab
Suci, agar mereka --melalui Kitab Suci tersebut-- dapat
menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan
keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS
2:213).
Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang
digambarkan di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia
untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS
38:29), sehingga mereka dapat menemukan --melalui
petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-- apa yang
dapat mengantar mereka menuju terang benderang.
Di sisi lain, Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal
sebagai: tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu
menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya.
Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ...
(QS 48:29).
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal
tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju
kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan
hakikat kemodernan yang --antara lain-- bercirikan dinamika
dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi
Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita
dapat berkesimpulan bahwa Al-Quran menganjurkan pembaruan
atau --dalam bahasa hadis Rasulullah saw.-- tajdid, atau
istilah lainnya "modernisasi" atau "reaktualisasi".
Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya
tajdid, terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak
hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu
namun --dalam pengertiannya serta pengalamannya-- telah
terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.
misalnya, menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang
dikemukakan oleh Sahl Al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai
"Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa
salaf pertama" (i'adah al-din ila ma
kana 'alayhi ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu,
Ahmad ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai
Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa
tajdid tidak lain kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan
kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan
pada masa al-salaf
al-awwal."
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai "usaha
untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer
dengan jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan
Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak
sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus
diyakini berdialog dengan setiap generasi serta
memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya.
Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian
faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan,
serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi
dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir
lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu
generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran
generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka.
Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula
dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami
perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus
atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan
ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan
setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan
men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat
atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang
tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat
merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga
sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang
bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang
sebaliknya.
Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan terhadap
ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka,
walaupun semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi,
berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada
yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang
diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas
sehingga menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan
Al-Maududi: "Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan
kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat
ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya
tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti
bahwa
ia telah memahami Al-Quran
melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang
memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi
saw."
62
Pendapat Al-Maududi di atas, walaupun kelihatannya
berbeda dengan pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun
hakikatnya sama. Menurut Al-Syathibi, "Syari'at bersifat
ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman
para sahabat Nabi saw."
63
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah
"murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka
bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan
pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang
keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim,
misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith
al-aswad (QS 2:187), dengan arti hakiki
Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka
demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan
Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami Al-Quran
adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran,
Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab
minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu
mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang
menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang
menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah
ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi
(metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran
--katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih,
sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis,
maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran
Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat "banyak"
ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-ta'wil-kan
sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya
hilanglah supra rasionalitas dalam ajaran agama (mukjizat
tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wil-kan menjadi
"hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)?
Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya
yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau
modernisasi dalam bidang tafsir.
Pandangan tentang Modernisasi
Tafsir
Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan
pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang
tafsir.
1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis
Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling
ideal adalah tafsir bi alma'tsur, yakni yang berlandaskan
ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan
Al-Quran.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka
tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw.,
demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1)
la majala li al-'aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan
dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika,
perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql
(dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah
kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima
sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang
berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun
harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya,
namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya
yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat
bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat
berbentuk ta'rif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya,
maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan
penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang
berbentuk:
(a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti
penafsiran al-shalat al-wustha dengan "shalat Ashar";
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran
ud'uni (dalam QS 40:60) dengan "beribadat";
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran
al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan "kubur";
(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran
al-maghdhub 'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan
"orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau
menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang
beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak
menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam
bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam
masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan
di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai
segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan
atau memperagakannya.
membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori,
yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti;
(3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat).
Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai
pribadi.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau
sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan
kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya
harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila
permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li
al-'aql fih (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm
al-murfu' (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia diterima
sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian,
maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana
yang sesuai dan mana yang tidak.
2. Pembedaan antara yang Qath'iy dan yang Zhanniy
Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang
bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang
dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain
bagi satu lafal pada saat ia berdiri
Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas
pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy
al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai
demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi
baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia
merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir
zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara
Syari'at dan fiqih.
Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan
keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at
adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan
nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian
sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya);
sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap
Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata
bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi
berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah
menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang
berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman
baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman
lama dapat mencukupi dan menempati
Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul
penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang
belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini
menunjukkan antara lain:
(a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata
umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya,
bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan
jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa
genetis).
Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya
kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang
berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta
mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah.
Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua
hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi
prinsip yang sewajarnya dipegang adalah
al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih
wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada
yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih
baik).
3. Penggunaan Ta'wil dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan
menggunakan ta'wil atau memberi arti metaforis bagi
teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan
membenarkan seseorang berkata "langit menurunkan
diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah
SWT. Keengganan menggunakan ta'wil ini menjadikan sementara
ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang
berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS 2: 74. Juga ada
yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah
Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah.
Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya tawil dalam
berbagai bentuknya. Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz
sebagai salah satu bentuk keindahan
Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan
pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi
penggunaannya.
Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai
pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wil-an
semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan
kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya,
men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa "mendekati
pohon" sebagai larangan melakukan hubungan
Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi
kebahasaan, namun penafsiran ini sangat menggelikan pakar
bahasa.
Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka
mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni
jangan kamu berdua mendekati pohon ini (QS 2:35). Tetapi,
setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan
seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni Turunlah
kamu semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi
sebagian lainnya (QS 2:36). Hal ini menurutnya, adalah bahwa
tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya
mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar
bila redaksi beralih menjadi bentuk
Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks
ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena,
bahasa tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud
penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan
karenanya walaupun seorang ibu mengandung --berapa pun bayi
yang dikandungnya-- ia tetap dianggap sebagai wujud
tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta'wil-an yang
dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa
pertimbangan kaidah kebahasaan.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap
penta'wil-an:
(a) Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat
kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas
dalam bidangnya;
(b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab
klasik.75
Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan
ta'wil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat
memahami motivasi sebagian mereka --seperti motivasi
Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam
memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat
mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa
batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang
bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam
pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolok
ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan,
khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah
kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu
yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang
Mutlak itu).
Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu
saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang
dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi
sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak bertentangan
dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka
redaksi .tersebut tidak perlu di-ta'wil-kan dengan
memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya
menggunakan ta'wil pada ayat-ayat yang telah pernah
di-ta'wil-kan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat
yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil
penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya
harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks
bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka
tidak ada jalan lain kecuali menempuh pen-ta'wil-an. Hal
demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks,
sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang
dibenarkan Al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah Al-Quran
mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah
sepakat untuk menggunakannya?
Catatan kaki
berbunyi: Inna Allah yab'atsu lihadzihi al-ummah 'ala ra'si
kulli mi'ah sanah man yujaddidu laha dinaha. Lihat Sunan Abi
Daud tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Al-Tijariyah
Al-Kubra, Kairo, 1953; jilid IV, h. 109.
Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, Dar Al-Da'wah, Kuwait,
cet. 1, 1984.
Al-Nadawi, Al-Syura Bayn Al-Fikrah Al-Islamiyyah wa
Al-Fikrah Al-Gharbiyyah, Maktabah Al-Taqaddum, Kairo,
cet.III, 1977, h. 71.
Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahat Al-Tahaddiyat
Al-Mu'ashirah, Dar Al-Qalam, Kuwait, 1974, h. 187.
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz,
Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, t.t. jilid II h. 82.
Bukhari dinyatakan bahwa 'Adi meletakkan tali (benang) hitam
dan putih di bawah bantalnya. Lihat Shahih Al-Bukhari Kitab
Al-Shaum, Sulaiman Mar'iy, Singapura t.t., jilid I, h. 328.
Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepadanya: Inna wisadataka
izan la'aridh (kalau demikian bantalmu panjang sekali).
Lihat Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman dalam Jam'
Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa Majma'Al-Zawaid, Abdullah
Hasyim Al-Yamani, Madinah, 1961, jilid II, h. 178.
dalam The Message of Qur'an, II, sebagaimana dikutip oleh
Busthami Muhammad Said, op. cit., h. 178.
fi Tamyiz Al-Fatawa an Al-Ahkam wa Tasharrufat Al-Qadhi wa
Al-Imam, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Mathba'at
Al-Islamiyyah, Halab, Suria, 1967, h. 86, dan
seterusnya.
cit., jilid I, h. 35.
dengan judul "Muwajahat Ma'a 'Anashir Al-Jumud fi Al-Fikr
Al-Islamiy Al-Mu'ashir,"dalam majalah Al-Arabiy, Kuwait, no.
222, Mei 1977, h. 22.
Talkhish Al-Bayan, tahqiq Muhammad Abdul Ghani Hassan,
Al-Halabi, Mesir, 1955, h. 11.
Al-Hayawan, tahqiq Abdussalam Harun. Kairo, 1964, jilid II,
h. 128.
fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Kairo, 1318 H, jilid II, h.
36.
Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud,
Dar Al-I'tisham, Kairo, 1967, h. 119.
cit., h. 100.
Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran
Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke
jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk
tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga
penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad
saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia
untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24),
dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka
kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan
alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat
tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul
Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak
termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan
ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:
a. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia,
sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca
QS 41:53).
b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi
(tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan
jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan
problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS
2:213).
Perkembangan Penafsiran Ilmiah
Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu
Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang
meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan
tersebut datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS
11:13).
c. Satu surah saja (QS 10:38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS
2:23).76
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat
salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada
masa turunnya.
Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari
kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan
Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi
melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya
"pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara
lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran
ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya
bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat
penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang
paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w.
yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din
dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk
membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa:
"Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih
ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah
diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran
Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu
termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan
sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat,
af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas.
Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut
prinsip-prinsip pokoknya.
80
Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan
mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit
maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).
"Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat
diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang
kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat
tentang ilmu kedokteran.
Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk
dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak
terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan
dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut
disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin
ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan
"kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu
diucapkan.
Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya,
sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya,
Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah
menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya
tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala
sesuatu kecuali tafsir.
81
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh
Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi jauhari (1870-1940).
Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan
Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal
tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha
membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah
yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada
masanya), khususnya di bidang filsafat dan
Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang
paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan
pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak
diturunkan untuk maksud tersebut,"
83
dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus
membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu
yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya
Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan
ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru
dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang
tidak pernah dimaksudkannya."
84
Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut,
juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami
Al-Quran sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana
wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad
Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud
ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya,
yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang
berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila
kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut
yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat
sebagaimana yang kita alami dewasa ini?
Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di
bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu,
masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga
dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh
Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik
menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad
kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan,
maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan.
Untuk mendudukkan persoalan di atas pada proporsinya yang
benar, perlu kiranya ditinjau korelasi antara Al-Quran dan
ilmu pengetahuan.
Korelasi antara Al-Quran dan Ilmu
Pengetahuan
Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi
yang lebih utama adalah melihat: adakah Al-Quran atau jiwa
ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya,
karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui
sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide
dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan
syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan,
sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif)
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
86
Sejarah membuktikan bahwa Galileo --ketika mengungkapkan
penemuan ilmiahnya-- tidak mendapat tantangan dari satu
lembaga ilmiah, kecuali dari masyarakat di mana ia hidup.
Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan
agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban
penemuannya sendiri.
Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata "ilmu" --dalam
berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali. Di
samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang
menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan
sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang
menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara
lain:
- Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara
lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlid atau mengikuti tanpa
alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
- Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca
antara lain, QS 10:36).
- Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau
kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37).
- Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima
kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).
Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara
lain:
- Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar
pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan
sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk
persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya
sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS
10:39).
- Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa
pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan
seperti Muhammad saw.
Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu
pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan
ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. "Tiada
yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama)
menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, ...
serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi
umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah
pengetahuan selama dan di mana saja ia
Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu
pengetahuan.
Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat
ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang
berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat
tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab
Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas
dalam perinciannya.
Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat
disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan
fenomenanya:
- Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia
untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka
meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah
ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi
untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang
mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan
pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate
goal).
- Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya
itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh
ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak
dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut
kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat
bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh
disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang
adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan
mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum
alam).
- Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya
tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat,
teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran
tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan
masing-masing."89
Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu
menggarisbawahi beberapa prinsip pokok:
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang,
berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci
yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal
tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk
menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa
memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai
maksud tersebut.
b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk
orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw.,
tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi
juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka
semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk
menggunakan akalnya.
c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman
dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti
menafsirkan Al-Quran secara
spekulatif90
atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah
disepakati oleh para ahli di bidang ini.
Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap
ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga
hal pula yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2)
Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami
kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk
memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat,
seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian
yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti
yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang
berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan
syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu
referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat
Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat
Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada
masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang
belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS 96:2) tidak
mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti
tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh
masyarakat Arab pada masa pra-Islam atau masa turunnya
Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti "sesuatu
yang bergantung atau berdempet".
92
Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti
apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan
proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak.
Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik
memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut
dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling
tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran
Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam
tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk
matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti
bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri,
sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari
dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian
terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam
berbagai bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak
Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya
dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata.
Karena disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan
suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah
bentuk material atau yang berhubungan dengan materinya.
Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu
pengetahuan.
Sebagai contoh, kata "lampu" bagi masyarakat tertentu
berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang
berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun
apa yang tergambar dalam benak kita dewasa ini tentang
gambaran material tersebut telah berubah. Yang tergambar
dalam benak kita kini adalah listrik.
Kita tidak dapat membenarkan seseorang menafsirkan arti
sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun
demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai
dewasa ini, karena pada masa lalu, mobil --dalam pengertian
kita sekarang-- belum ada. Namun, kita dapat membenarkan
penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom
karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M),
"digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang amat kecil atau
Selain aspek yang dikemukakan di atas, aspek-aspek
kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Dr. Mustafa
Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat
41, mengatakan bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah
betina laba-laba bukan jantannya. Karena, katanya, ayat
tersebut menggunakan kata kerja mu'annats "ittakhadzat"
bukan "ittakhadza"
Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa
tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat
sarangnya bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian
ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar
yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera
Prof. Dr. 'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi', Guru
Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di
Maroko, serta Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo,
menanggapi pendapat di atas. Ia menyatakan: "Para pelajar
bahasa Arab tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini
menggunakan bentuk mu'annats (feminin) untuk kata al-ankabut
(laba-laba), sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk mufrad
(tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah (semut,
lebah, dan ulat)".
Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats untuk kata
al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa
dan tak ada hubungannya sedikit pun dengan
Demikian pula, menetapkan ayat di atas dengan berpendapat
bahwa sarang laba-laba lebih kuat daripada baja atau
sutera-sutera alam, akan mengakibatkan runtuhnya ungkapan
yang dikenal oleh bahasa Al-Quran, bagi sesuatu Yang sangat
rapuh yakni sarang laba-laba, sehingga jika penafsiran yang
diungkapkan itu benar, maka akan kelirulah redaksi Al-Quran
dan kandungannya yang mengatakan bahwa (serapuh-rapuh rumah
tempat berlindung adalah sarang laba
Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama Tafsir
berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari
pengertian hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan
(majazi), kecuali bila terdapat tanda-tanda yang jelas yang
menghalangi pengertian hakiki
Dengan demikian, kita dapat mentoleransi (walaupun tidak
sependapat dengan) para ahli yang memahami ayat 37 surah
Fushshilat, atau ayat 33 surah Al-Anbiya; yang berbicara
tentang matahari dan bulan, malam dan siang, kemudian
menggunakan kata ganti hunna yang berbentuk jamak (plural),
bahwa terdapat sekian banyak matahari dan bulan di alam
raya. Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu
pengertian terhadap satu kata atau ayat terlepas dari
konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara keseluruhan
dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain.
2. Konteks antara Kata atau Ayat
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat
tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan
keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang
yang tidak memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah
lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22), yakni
hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan
memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan
Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut
berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab
dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf
fa pada fa anzalna tentunya pengertian "mengawinkan
tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak akan
dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat
antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan
--juga "jika pengertian itu yang dikandung oleh arti fa
anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi
adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya
untuk dimakan manusia".
101
Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan ayat yang
lain.
Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah Al-Naml, ... dan
engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada
tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan
..., mengemukakan tentang "teori gerakan bumi, baik mengenai
peredarannya mengelilingi matahari maupun gerakan lapisan
terlebih dahulu harus dipahami konteks ayat ini dengan
ayat-ayat sebelum dan ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan
bahwa keadaan yang dibicarakan adalah keadaan di bumi kita
sekarang ini, bukan kelak di hari
Ada yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah
mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar.
Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada
kamu (Jin dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan
tembaga, maka kamu tidak akan dapat menyelamatkan diri, maka
pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia tidak
terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya
kontradiksi antara dua ayat: ayat 33, berbicara tentang
kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar, sedangkan ayat
35, menegaskan ketidakmampuannya.
Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi
kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran
ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu
pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu
masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau
dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun
ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian
merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya
dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang
pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran
seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain,
perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya.
Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya,
sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi
Al-Quran dapat berbeda-beda.
Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang
dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu,
sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik
tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara
spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan
tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.
Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran
terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh
redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah
dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci
seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat
bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu
pengetahuan.
Ayat 30 surat Al-Anbiya', yang menjelaskan bahwa langit
dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian
dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak
diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya.
Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana
terjadinya hal tersebut.
Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan
pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak
berhak untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan
pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi
ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa
seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman
tersebut sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah
disepakati, maka tak ada
Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti sab'
samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari
tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat
diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan
pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya
mempercayai hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan)
dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang
Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir",
tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq
Penutup
Melihat kompleksnya permasalahan Al-Quran dan ilmu
pengetahuan, dimana dibutuhkan pengetahuan bahasa dengan
segala cabang-cabangnya serta pengetahuan menyangkut
berbagai bidang ilmu pengetahuan yang diungkapkan oleh
ayat-ayat Al-Quran, maka sudah pada tempatnya jika pemahaman
dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok
atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja. Tetapi
hendaknya merupakan usaha bersama dari berbagai ahli dalam
pelbagai bidang lain.
Catatan kaki
Darraz, Al-Naba' Al-'Azhim, Tatbha'ah Al-Sa'adah, Mesir
1960, h. 77.
Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy,
Beirut 1982, h. 57.
Husain Al-Zahabiy, dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar
Al-Kitab Al-'Arabiy, Kairo, 1963, jilid II, h. 140.
'Ulum Al-Din, Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, Kairo, 1356 H, jilid
I, h. 301.
Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, cet. I, Mesir, t.t., h.
31-32.
Tafsir Mafatih Al-Ghayb, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, Teheran,
cet. III, jilid II, h. 215.
Mazahib Al-Tafsir Al-Islamiy, terjemahan ke dalam bahasa
Arab oleh Dr. Abdul Mun'im Al-Najjar, Al-Sunnah
Al-Muhammadiyah, Kairo, 1955, h. 375.
Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, tt., jilid II, h.
80.
Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal,
Cairo,tt., h. 180
Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikr Al-Islamiy
Al-Hadits, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, cet. VI, h. 123.
h. 12.
Ilme Jadid Ka Challenge, terjemahan bahasa Arab oleh Dr.
'Abdussabur Syahin, Al-Mukhtar Al-Islamiy, Kairo 1976, cet.
VI, h. 123.
'Abdul 'Azhim Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-'Irfan,
Al-Halabiy, Kairo 1980, jilid II, h. 356-558.
cit., h. 174, dan 'Abdul Lathif Al-Subki dalam Nafahat
Al-Qur'an, Al-Majlis Al-'Alahisyyun Al-Islamiyyah, Kairo,
1964, h. 17.
cit., jilid I, h. 217.
Al-Asfahaniy, Mufradat Gharib Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir,
1961, h. 347.
Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, cet. III 1367 H, h.
22.
Al-Tafsir Al-'Ilmiy li Al-Ayat Al-Kawniyyah fi Al-Qur'an,
Dar Al-Ma'arif, Kairo, cet. II, tt. h. 140-141. Kata dhiya'
digunakan untuk api, kilat, minyak zaitun, matahari, Taurat
(sebelum diberikan kepada Nabi Musa a.s.), dan cahaya.
Kesemuanya itu bersumber dari dirinya sendiri dan bukan
pantulan cahaya. Jika demikian, cahaya matahari bukan
pantulan sebagaimana bulan
Al-Biqa'iy, Nazm Al-Durar, Dar Al-Salafiah, Bombay, 1976,
jilid V, h. 281.
Al-Qur'an Muhawalah li Fahmi 'Ashriy, Dar Al-Ma'arif, Kairo,
1970, h. 211-212.
'Abdurrahman, Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilmi li
Al-Malayin, Beirut, 1982, cet. V, h. 329.
Al-Gamrawiy, Al-Islam fi 'Ashr Al-'Ilmiy, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah Al-Sa'adah Kairo 1978, h. 375.
dan Terjemahannya, Departemen Agama,Yayasan Penyelenggara
Penerjemahan/Penafsir Al-Quran, 1967, h. 392.
cit., h. 405.
"Penyelenggara Pemahaman Ajaran Islam, Menghadapi Kemajuan
Ilmu dan Teknologi", PHBI, Departemen Agama, 1984, h.
19.
Mahasin Al-Ta'wil, Al-Halabiy, cet. I, 1959, jilid XIII, h.
4689, dan seterusnya.
lanjut tentang uraian tafsir ini, di Bab "Metode Tafsir
Tematik" dalam buku ini.
'Abdurrahman, op cit., h. 61-62.
cit., h. 182.
Al-Thabathaba'iy, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub
Al-Islamiyah, cet. III, 1397 H.K., jilid I, h. 6.
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di
antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang
diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah
dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra
bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini
mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode
penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir
Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310
H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M),
kita akan menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab
tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini
merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar
ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan
tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi
dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang
Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa
redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti
yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus
diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran
dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan
metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar
Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga
tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya
penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab
sendiri.
Beberapa Problem Tafsir
Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa
kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang
dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap
Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau
tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa.
Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf
karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya
Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi
(w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745
H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu
menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami
secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk
dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu
berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang
dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan
akal.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa
kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai
oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah
menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk
Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada
pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606
H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya
korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk
mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri
dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak
tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada
pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya di
bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi
korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika penyusunan
ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam
mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang
membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang
bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain segi,
maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan
kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan
ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu
redaksi terhadap redaksi lainnya,
110
bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang
dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.
Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat
mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut
berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang
hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal
surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau
sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan
maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan
bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia
bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata
menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara.
Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera
memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir,"
demikian kata Al-Syathibi.
111
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut,
menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ
beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi
dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu
surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta
petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide
tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah
pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi
perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh
Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak
menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih
menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara
terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang
saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang
terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat
seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak
faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat
yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak
kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat
semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat
lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat
diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang
dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out
of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya,
penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah
pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan
sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh
tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata
surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan
masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan
perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan
problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem
dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid
Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini,
atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama
dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan
kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi
pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha.
Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya
dengan uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad
lalu yang "terlambat lahir".
Metode Mawdhu'iy
Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan
mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk
memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk
Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau
penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif,
sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara
tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran,
misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran
karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya
Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai
pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat
inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang
menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun
seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang
berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan
satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil
kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut
pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali
dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua
Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar
sampai tahun 1981.
Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah
berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan
metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah
menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i
li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih
banyak topik yang dibicarakan Al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara
mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan
seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali
menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa
contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian
ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil
membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa
apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa
kelemahan.
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang
juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar,
menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan
mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya
ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah
tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas
(topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
(outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang
relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad
(terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
pemaksaan.112
Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka
pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah
yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1) Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang
diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun
untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh
metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu
bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila
permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan
yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh
mereka.
Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih
dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau
ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat
membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran
menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan
sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran
semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat
tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban
terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang
tinggal di luar wilayahnya.
(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui
perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang
dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan
mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud
menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang
dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
(3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan
Al-Quran
Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang
pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai
apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami arti
kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari
tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih
awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga
pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya
diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang
digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks
pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya,
mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan
kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa'
menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek
dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi
kesan keterkaitan dalam keikutan.
113
Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa
kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat
Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul
Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza
Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan
menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya
Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata
dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang
dibahas itu.
(4) Azbab al-Nuzul
Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah
tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun
tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul
mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat
Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana
karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus
dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya
masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya
dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan,
selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan
ditonjolkan.
Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang
dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam
satu kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar
kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah
diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk
menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat
mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan
dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam
karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan:
(a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti
ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran;
(c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan
mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran, maka
lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk
pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam
Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan
khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka
ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya,
sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan
satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud
Syaltut dalam kitab Tafsirnya.
Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas
masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut,
sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok
pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a)
menghindari problem atau kelemahan metode lain yang
digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat
dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam
menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca
kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai
pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan
metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh
Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak
dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu
ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang
berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya.
Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab
Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran.
Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk
menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam
Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat
Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan
Metode Analisis
Yang dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan
tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian
banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan
ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui
penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah,
serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufasir itu".
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy
yang telah digambarkan langkah-langkahnya di atas. Perbedaan
itu antara lain, pertama, mufasir mawdhu'iy, dalam
penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam
mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya
ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir analisis
memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam
mush-haf.
Kedua, mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi
permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang
berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang
Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara
menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap
ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya,
tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah
ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam
batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir
analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga, mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan
permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran
ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang
dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan
seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian
lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan
Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah
"membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau
kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda
bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk
dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan
ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang
tampaknya bertentangan, serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
ayat-ayat Al-Quran.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara
ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir
biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat
atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti
misalnya perbedaan antara:
dalam surat Al-An'am ayat 151, dan
dalam surat Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
dalam surat Al-A'raf ayat 12, dengan
dalam surat Shad ayat 75.
Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali Imran
ayat 126.
Mufasir yang menempuh metode ini, sepert misalnya
Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa
Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada
petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang
dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan
sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode
Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari
persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang
dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang
ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode
komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu'i, karena yang
pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi semata-mata.
Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya
bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya
dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits. Sikap ulama
dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan penganut
mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau
tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam
Malik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak
sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi
hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau
ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk
mengkompromikan ayat dan hadis tersebut, khususnya jika
sanad hadis tersebut sahih.
Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir
menyangkut ayat Al-Quran, ada beberapa hal yang perlu
mendapat sorotan:
(1) Kondisi sosial politik pada masa seorang
mufasir hidup;
(2) Kecenderungannya dan latar belakang
pendidikannya;
(3) Pendapat yang dikemukakannya --apakah pendapat
pribadi, ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau
juga pengulangannya;
(4) Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding
melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya
tentang pendapat tersebut --baik menguatkan atau
melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang
diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi
beberapa masalah, agar seorang yang bermaksud menempuh
metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode
tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau
kesalahpahaman.
Hal-hal tersebut adalah:
(1) Metode Mawdhu'i pada hakikatnya tidak atau
belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Quran yang
ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang
diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang
ditetapkan oleh mufasirnya, sehingga dengan demikian
mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak
dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang
ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan
dengan pokok bahasannya.
(2) Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya
memperhatikan dengan seksama urutan ayat-ayat dari segi
masa turunnya, atau perincian khususnya. Karena kalau
tidak, ia dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan
baik di bidang hukum maupun dalam perincian kasus atau
peristiwa.
(3) Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar seluruh
ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang telah
ditetapkannya itu. Sebab kalau tidak, pembahasan yang
dikemukakannya tidak akan tuntas, atau paling tidak,
jawaban Al-Quran yang dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan kaki
menyatakan bahwa orang-orang Arab sebenarnya mampu untuk
menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal
tersebut tidak terlaksana, karena Allah SWT melakukan campur
tangan, dengan jalan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa
yang mereka miliki, atau dengan jalan melemahkan semangat
dan keinginan mereka untuk menandingi Al-Quran.
Muhammad Al-Bahiy, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya
Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II, tt, h. 7.
Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak
di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai dengan surah
Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara
lain terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar,
Mesir.
Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III, h.
144.
Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah
Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy,
Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
Al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras,
perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, keseluruhannya
menjadi bahasan penafsir "analisis". Tetapi penafsir
maudhu'iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok
bahasan yang dipilihnya tentang "minuman keras", maka ia
tidak akan menyinggung persoalan judi dan
berhala-berhala.
Hubungan Hadis dan Al-Quran
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti
definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik
sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul
fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan
bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang
berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh
ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban
menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber
dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat
kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran
dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah
Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa
athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat
kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah
Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali
saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup
kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang
tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin
harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu--
walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang
ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya
dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali,
dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr
tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima
ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada
saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan
syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah
dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat
perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh
Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada
Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang
--menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar
ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini,
berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh
orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang
sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun
pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis,
namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan
hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari
segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan
terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik
pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi
sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga
mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin
akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi
menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44).
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam
bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis
bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum
syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam
Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya
dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama
sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua
memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir
dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau
Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum
ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui
mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi
dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang
kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn
al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan
hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang
dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak
terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang
maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw.
melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari
pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya
berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada
hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa
yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan
persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat
qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang
berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang
bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar
sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah
Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan
bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad
yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu.
Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
(hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya,
tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena
Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh
ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam
Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka,
jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan
sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis.
Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh
Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat
bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan
dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan
hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah
yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya
ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam
pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita
dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan
dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah
(Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu
Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam
Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam
berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik
dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap
kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan
umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang
sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan
sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik
segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka
tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima
secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak
meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti
ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna,
dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama
dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui
bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh
para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan
dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah
hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah
hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah
konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja,
atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika
diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang
dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna
hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya
dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan
tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain
sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap
hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai
pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau
kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap
hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks
tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat,
tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh,
menguraikan tentang perintah dan larangan syara'.
Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang
tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi
yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual
dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam
perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda,
"Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk
di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu
bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay
memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada
yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah."
Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual,
sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu
--kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara
kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar,
sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus
terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat
yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks
hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks
hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal
ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan
bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk
hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga
tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus
dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada
petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan
bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan
hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud
hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan
terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya
Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan
dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi
hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi
kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan
hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan
kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan
oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut
hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat
dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks
keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi
dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya
adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali
apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy
juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan
saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks
tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut
diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir
ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar.
Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya
dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah
tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam
teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang
membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau
membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah
atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas.
Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam
tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena
kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada
penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat
dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya
ada, hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya
pun gugur.
Fungsi dan Posisi Sunnah Dalam Tafsir
Wa anzalna ilayka al-dzikra litubayyina li al-nas ma
nuzzila ilayhim (Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka) (QS 16:46).
Wama anzalna 'alayka al-kitab illa litubayyina lahum
alladzina ikhtalafu fihi wa hudan wa rahmatan liqawmin
yu'minun (Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu Al-Kitab
[Al-Quran] ini kecuali agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk
menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman) (QS (QS
16:64).
Uraian yang singkat ini bukan merupakan pembahasan yang
menyeluruh tentang Al-Sunnah, baik dari segi kedudukan dan
fungsinya terhadap Al-Quran, maupun dari segi sejarah
perkembangan dan metode penelitiannya. Uraian ini hanya
merupakan gambaran umum tentang beberapa masalah yang telah
menimbulkan kesalahpahaman.
Al-Quran Al-Karim telah diyakini kebenarannya oleh kaum
Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata,
bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara
utuh kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian memerintahkan
sahabat-sahabatnya untuk menuliskan, menghapalkan dan
mempelajarinya.
Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat
mengumpulkan naskah-naskah Al-Quran yang ditulis itu,
kemudian menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru
dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu
diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam
mushaf dewasa ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang
pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw., dan para pengikutnya
lima belas abad yang lalu.
Nabi Muhammad ditugaskan untuk menjelaskan kandungan
ayat-ayatnya. Hal ini terbukti, antara lain, dalam ayat-ayat
yang dikutip di awal uraian ini. Dengan demikian,
penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad saw. tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran. Beliau
adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh
untuk menjelaskan Al-Quran (QS 4:105). Penjelasan beliau
dapat dipastikan kebenarannya. Tidak seorang Muslim pun yang
dapat menggantikan penjelasan Rasul dengan penjelasan
manusia lain, apa pun kedudukannya.
Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat Al-Quran
yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bermacam-macam
bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan
ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh orang
Nabi Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT --melalui
Al-Quran-- hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya
harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan panutan terbaik
bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan
di hari kiamat. (QS 33: 21).
Perintah untuk taat (athi'u) telah disebut dalam Al-Quran
sebanyak sembilan belas kali. Terkadang, perintah tersebut
digabungkan antara taat kepada Allah dengan, sekaligus,
kepada Rasul: Athi'u Allah wa al-rasul (QS 3:32, 132; 8:1,
46; dan sebagainya). Tetapi juga, terkadang antara keduanya
dipisah dengan kata "athi'u": Athi 'u Allah wa athi'u
al-rasul (QS 4:59; 24:54; 4:23; dan sebagainya).
Penggabungan dan pemisahan di atas bukanlah tidak
mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa perintah-perintah
Nabi Muhammad saw., harus diikuti, baik yang bersumber
langsung dari Allah (Al-Quran) --sebagaimana ayat yang
menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul di atas--
maupun perintah-perintahnya berupa kebijaksanaan --seperti
ayat-ayat kelompok kedua di atas.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran menegaskan bahwa
hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan
meninggalkan apa yang dilarangnya (QS 59:7). Dan bahwa
barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada
Allah (QS 4:80), sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa
Muhammad saw. tiada lain adalah seorang Rasul (QS
3:144).
Al-Quran juga mengancam orang-orang yang menentang
perintahnya (QS 24:62). Bahkan, ia menyatakan bahwa mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima sepenuhnya (QS 4:65).
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka yang
menduga bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai wewenang
dalam urusan agama, adalah keliru. Ayat laysa laka min
al-amri syai'un (QS 3:128), diterjemahkan oleh sementara
orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang urusan
(agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang
dimaksud dengan "urusan" dalam ayat ini adalah urusan
diterima atau ditolaknya tobat orang-orang tertentu,
sebagaimana bunyi lanjutan ayat
Sementara orang ada yang meragukan otentisitas
penjelasan-penjelasan Nabi yang merupakan bagian dari Sunnah
(hadits). Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka
menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa
pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Dugaan yang
sangat keliru ini timbul karena mereka tidak dapat
membedakan antara penulisan hadis yang, secara resmi,
diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke
seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas
prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah
saw.
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga
banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:
1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang
berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung
oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah
ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip,
masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis langsung oleh
sahabat 'Abdullah bin Amir bin 'Ash --seorang sahabat yang,
oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis-- dan
sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja
yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun
marah.
3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan
ulama yang --oleh Ibn Sirin-- dinilai banyak mengandung ilmu
pengetahuan.
4. Shafifah Jabir bin 'Abdullah, seorang sahabat yang,
antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan
khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada', dan
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis
Rasulullah saw., telah ditulis atas prakarsa para sahabat
dan tabi'in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi
diperintahkan oleh 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan hadis
(pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam
memahami riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis)
yang menyatakan bahwa para ulama menghapal sekian ratus ribu
hadis. Mereka menduga bahwa jumlah yang ratusan ribu itu
adalah jumlah matan (teks redaksi hadis), sehingga --dengan
demikian-- mereka menganggap mustahil penulisannya secara
keseluruhan sejak awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari
bahwa jumlah hadis, yang dinyatakan ratusan ribu tersebut,
bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) hadis.
Karena satu matan hadis dapat memiliki puluhan
Ada pula yang menduga bahwa hadis-hadis Nabi yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis telah dinukilkan oleh para
pengarangnya melalui "penghapal-penghapal hadis", yang hanya
mampu menghapal tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah.
Dugaan ini timbul karena kedangkalan pengetahuan mereka
tentang ilmu hadis. Jika mereka mengetahui dan menyadari
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal
hadis (antara lain, seperti tepercaya, kuat ingatan,
identitasnya dikenal sebagai orang yang berkecimpung dalam
bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai
majhul al-hal aw al-'ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya
atau juga identitas pribadinya).
Ada pula yang menduga bahwa para ahli hadis hanya sekadar
melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan
(kritik intern). Dugaan ini juga keliru, karena dua dari
lima syarat penilaian hadis shahih (yaitu tidak syadz dan
tidak mengandung 'illah) justru menyangkut teks (matan)
hadis-hadis tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun
sepintas lalu berkaitan dengan sanad hadis, bertujuan untuk
memberikan keyakinan akan kebenaran hadis-hadis
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa di satu pihak,
kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah
perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan
(agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan
agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para
orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang
mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan
tertentu.
Catatan kaki
lanjut Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, Al-Halabiy,
Kairo, 1969, h. 18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah
fi Ushul Al-Din, Jilid I, Mesir, Al-Risalah, 1980, h.
112-13.
juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul
ayat tersebut. Lihat Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, Kairo,
tt., h. 247.
lanjut Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu,
Beirut, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977, cet. IX, h. 23, dan
seterusnya; Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah qabla
Al-Tadwin Wahdah, Kairo, 1963, cet. I, h. 346, dan
seterusnya.
seluruh matan hadis dari seluruh kitab-kitab hadis yang
mu'tabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 matan
hadis, termasuk di dalamnya hadis-hadis shahih, hasan dan
dhaif. Dalam hal ini, ahli hadis, Al-Hakim, dinilai
berlebihan ketika menyatakan bahwa jumlah hadis shahih tidak
lebih dari 10.000 hadis. Lihat 'Abdul Halim Mahmud,
Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Kairo, Al-Maktabah
Al-Tsaqafiyah, 1967, h. 59. Walaupun demikian, harus diakui
bahwa sebagian besar hadis Nabi direkam bukan dalam bentuk
tulisan, tetapi hapalan.
lainnya adalah: Pertama, perawi hadis tersebut tepercaya
dari segi pandangan agama, tidak berbohong. Kedua, kuat
hapalannya. Dan ketiga, bersambung sanadnya dalam pengertian
bahwa rentetan para perawinya pernah saling bertemu atau
diduga pernah bertemu.
Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat
menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara
lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian
sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat
kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas
menguraikan hal-hal di atas.
122
Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya
secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut,
bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu
Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan
hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan
dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan
maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu,
tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk
menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat
bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang
dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar
pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi,
Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala
sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku
sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan
tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit
dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran,
yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya
disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam
Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal
yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak
semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan
tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali,
juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa
"Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan
Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di
antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata
Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran
kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat
dengan pengetahuan mereka."
125
Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk
memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para
sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya
yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan
pemikiran pada masanya masing-masing.
Al-Quran dan Alam Raya
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara
tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal
yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut:
(1) Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan
kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam
raya dalam rangka memperoleh manfaat dan
kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk
--mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan
Kemahakuasaan Allah SWT.
Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia
memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan
hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun,
pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan
puncak (ultimate goal).
(2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang
mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan
Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari
ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki
oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:
(a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak
boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.
(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan
tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum
dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya
(hukum-hukum alam).
(3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas,
teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran
terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat
bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
pengetahuan masing-masing penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu
digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan
seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah
(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang,
berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci
yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa
setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan
pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat
syarat-syarat tertentu.
(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan
untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa
Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad
ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta
dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami
petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal
manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat
latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman,
kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman
atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam
satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan
perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan
pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran
secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah
penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang
memiliki otoritas dalam bidang ini.
(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami
dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan
seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran.
Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam
kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah
tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang
astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat
yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas,
ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir
--khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat
penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus
bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.
Pendapat Para Ulama tentang
Penafsiran Ilmiah
Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan
ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat
ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula
yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga
tidak dapat dijamin kebenarannya.
Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara
spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan
penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah
yang sifatnya belum mapan.
126
Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang
apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja
menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata
bertentangan dengan penemuan para
Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban
menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi
berikut membuka tabir kesalahan kita dan
Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang
hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam
pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian
penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi
ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh
menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara
ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian
alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan
kemudian dipisahkan Tuhan.
Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana
terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan
mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena
Al-Quran tidak menguraikannya.
129
Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu
yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang
mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan
atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan
redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa
ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang
dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu
demikian.
Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas,
bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka
ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut
Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti
'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata
surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu.
Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai
pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk
mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang
demikian itu terhadap orang lain."
130
Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya
Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan
Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer,
lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran
secara ilmiah dengan nama tathbiq
Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan
untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila
di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah
tersebut keliru.
Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar
Ayatnya
Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir
mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran
ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi
bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.
Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang
berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung
itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan
sebagai jalannya awan), ini menginformasikan
pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih
dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat
sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam
kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di
hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan
ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa
turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga
kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan
ayat kemudian.
Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada
sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari
ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan
mengabaikan kaidah kebahasaan.
Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen
Agama dengan, "
Dan Kami telah
meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami
turunkan hujan dari langit
..."
133
Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga
menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga
terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi
mengawinkan tumbuh-tumbuhan.
Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak
didukung oleh fa anzalna min al-sama'
ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka
kami turunkan hujan. Huruf fa'
yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan
akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau
perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf
tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat
penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut.
Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan
lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.
Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut
digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi.
Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat
tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam
menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna
dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43:
Tidakkah kamu lihat bahwa Allah
mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih,
maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya
...134
Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab
kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa
Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek
bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita
masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi
mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat
Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut
benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi
Mahaesa itu.
Catatan kaki
yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada
pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo
1957, jilid I, h. 249.
lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an,
Kairo, 1350 H, jilid I, h. 3.
Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Dar Al-Qalam, Mesir,
Cetakan II, t.t., h. 13, dan seterusnya.
Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I,
t.t., h. 31.
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t.,
jilid 1, h. 46.
Al-Hakimi, Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits, Dar
Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.
Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar
Al-I'thisham, Kairo, 1976, h. 12.
Al-Hakimi, loc cit.
Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Kairo,
t.t., h. 182.
Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Dar Al-Ilmu li
Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 313.
Al-Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub
Al-Islamiyyah, Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h.
6.
Kitab Suci Al-Quran Depag, Al-Qur'an dan Terjemahannya,
Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.
Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah, Dar Al-Ma'arif
Mesir, 1960, h. 363, dan seterusnya.
Konsep Qath'iy dan Zhanniy
Istilah qath'iy dan zhanniy --sebagaimana lazim
diketahui-- masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu
yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah
(kandungan makna). Tidak terdapat perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber Al-Quran.
Semua bersepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat
Al-Quran yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum
Muslim di seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa
sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw. dari Allah SWT melalui malaikat Jibril
a.s.
Al-Quran jelas qath'iy al-tsubut. Hakikatnya merupakan
salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah
ma'lum min al-din bi
al-dharurah.
135
Karena itu, di sini tidak akan dibicarakan masalah qathi'y
dari segi al-tsubut atau kebenaran sumber tersebut. Yang
menjadi persoalan adalah bagian kedua, yakni yang menyangkut
kandungan makna redaksi ayat-ayat Al-Quran.
Sebelum menguraikan masalah di atas, terlebih dahulu
perlu digarisbawahi bahwa masalah ini tidak menjadi salah
satu pokok bahasan ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal
tersebut dapat dibuktikan dengan membuka lembaran
kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Lihat misalnya Al-Burhan
karangan Al-Zarkasyi, atau Al-Itqan oleh Al-Sayuthi.
Keduanya tidak membahas persoalan tersebut. Ini, antara
lain, disebabkan ulama-ulama tafsir menekankan bahwa
Al-Quran hammalat li al-wujuh.
136
Sehingga, dari segi penggalian makna, mereka mengenal
ungkapan: "Seorang tidak dinamai mufasir kecuali jika ia
mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat
Al-Quran."
Sikap ini tentunya tidak sejalan dengan konsep qath'iy
at-dalalah yang hakikatnya, menurut 'Abdul Wahhab Khallaf,
adalah: "Yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus
dipahami darinya (teks); tidak mengandung kemungkinan ta'wil
serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna
selain makna tersebut darinya (teks
Mohammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer kelahiran
Aljazair, menulis tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai
berikut: "Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang
tak terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan
penjelasan pada tingkat yang dasariah, eksistensi yang
absolut. Ia, dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah
tetap dan tertutup hanya pada satu penafsir.an
Pendapat di atas sejalan dengan tulisan 'Abdullah Darraz,
salah seorang ulama besar Al-Azhar yang antara lain
mengedit, menjelaskan dan mengkritik kitab Al-Muwafaqat
karya Abu Ishaq Al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: "Apabila
Anda membaca Al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda.
Tetapi bila Anda membaca sekali lagi, maka Anda akan
menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna
terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat)
menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti
bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar ...
(Ayat-ayat Al-Quran) bagaikan intan. Setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda
mempersilakan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat
lebih banyak dari apa yang Anda
Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa setiap nash atau
redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi
pengucapnya, redaksi tersebut hanya mengandung satu arti
saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang
disebut dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau
pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka tidak dapat
memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash
atau redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka
dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dalalah
nishbiyyah.
Atas dasar titik pandang yang demikian inilah agaknya
mengapa pembahasan mengenai qath'iy al-dalalah tidak
diuraikan secara khusus dalam kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an.
Persoalan ini dibahas oleh ulama-ulama ushul al-fiqh. Para
pakar disiplin ilmu ini pada umumnya menjadikan
masalah-masalah ushul al-fiqh sebagai masalah yang pasti
Perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang dibicarakan
di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun
mereka menekankan perlunya seorang mufasir untuk mengetahui
ushul al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat
hukum.
Hakikat Qath'iy dan Zhanniy
Tetapi, apakah yang dinamai qath'iy dan apa atau
bagaimana proses yang dilaluinya sehingga suatu ayat dinilai
qath'iy al-dalalah? Di atas telah dinukil pendapat 'Abdul
Wahhab Khallaf yang kelihatannya merupakan pendapat yang
populer tentang difinisi qath'iy al-dalalah.
Definisi serupa dikemukakan juga oleh Syaikh Abu
Al-'Ainain Badran Abu Al-'Ainain: "Sesuatu yang menunjuk
kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna)
Sementara itu, Al-Syathibi, dalam Al-Muwafaqat, menulis
demikian: "Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti
dalam dalil-dalil syara' yang sesuai dengan penggunaan
(istilah) yang populer."
142
Yang dimaksudkan adalah istilah yang dinukil di atas, atau
yang semakna dengannya seperti dijelaskan oleh 'Ali 'Abdul
Wahhab. Mereka merumuskan "definisi populer" tersebut dengan
"tidak adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafal
kecuali maknanya yang dasar itu."
143
"Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam
dalil-dalil syara'", (jika berdiri sendiri) ini, menurut
Al-Syathibi, karena apabila dalil-dalil syara' tersebut
bersifat ahad, maka jelas ia tidak dapat memberi kepastian.
Bukankah ahad sifatnya zhanniy? Sedangkan bila dalil
tersebut bersifat mutawatir lafalnya, maka untuk menarik
makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimat) yang
tentunya harus bersifat pasti (qath'iy) pula. Dalam hal ini,
premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir. Ini tidak
mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa
premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya
bersifat ahad dalam arti zhanniy (tidak pasti). Sesuatu yang
bersandar kepada zhanniy, tentu tidak menghasilkan sesuatu
kecuali yang zhanniy pula.
Muqaddimat yang dimaksud Al-Syathibi di atas adalah apa
yang dikenal dengan al-ihtimalat
yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan; (2) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan gramatika (nahw); (3) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan perubahan kata (sharaf); (4) redaksi
yang dimaksud bukan kata bertimbal (ambigu, musytarak); atau
(5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz); (6)
tidak mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar);
atau (8) "pendahuluan dan pengakhiran" (taqdim wa ta'khir);
atau (9) pembatalan hukum (naskh); dan (10) tidak mengandung
penolakan yang logis (adam al-mu'aridh al-'aqliy).
Tiga yang pertama kesemuanya bersifat zhanniy, karena
riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya
ahad. Tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui
al-istiqra' al-tam (metode induktif yang sempurna), dan hal
ini mustahil. Yang dapat dilakukan hanyalah al-istiqra'
al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini
tidak menghasilkan kepastian. Dengan kata lain, yang
dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat zhanniy.
Yang Qath'iy dalam Al-Quran
Apakah pendapat Al-Syathibi di atas mengantarkan kita
untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath'iy dalam
Al-Quran? Memang demikian jika ditinjau dari sudut ayat-ayat
tersebut secara berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia
menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum
yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai
qath'iy.
Menurut Al-Syathibi lebih jauh, "kepastian makna"
(qath'iyyah al-dalalah) suatu nash muncul dari sekumpulan
dalil zhanniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna
yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil
yang beraneka ragam itu memberi "kekuatan" tersendiri. Ini
pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil
tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan
tersebut menjadikannya tidak bersifat zhanniy lagi. Ia telah
meningkat menjadi semacam mutawatir ma'nawiy, dan dengan
demikian dinamailah ia sebagai qath'iy
Jika perhatian hanya ditujukan kepada nash Al-Quran yang
berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini tidak pasti
menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya
berbentuk perintah, sebab, banyak ayat Al-Quran yang
menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai
perintah wajib. Kepastian tersebut datang dari pemahaman
terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau
konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung
makna yang sama. Dalam contoh di atas, ditemukan sekian
banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal
berikut:
(a) Pujian kepada orang-orang yang shalat;
(b) Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau
meninggalkannya;
(c) Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya
dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam
keadaan berdiri atau --bila uzur-- duduk atau berbaring
atau bahkan dengan isyarat sekalipun;
(d) Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara
turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan
generasi sesudahnya, yang tidak pernah
meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang
kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa
penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath'iy
mengandung makna wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa
tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya.
Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimu al-shalat,
menjadi aksioma. Di sini berlaku ma'lum min al-din bi
al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul al-fiqh menunjuk kepada ijma'
untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath'iy. Sebab, jika
mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri
sendiri, maka akan dapat terbuka peluang --bagi mereka yang
tidak mengetahui ijma' itu-- untuk mengalihkan makna yang
dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah,
guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada
ijma'.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir
dapat menjadi qath'iy dan zhanniy pada saat yang sama.
Firman Allah yang berbunyi Wa imsahu bi ru'usikum adalah
qath'iy al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam
ber-wudhu : Tetapi ia zhanniy al-dalalah dalam hal batas
atau kadar kepala yang harus dibasuh. Keqath'iy-an dan
ke-zhanniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama
ber-ijma' (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala
dalam berwudhu' berdasarkan berbagai argumentasi. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba' pada
lafal bi ru'usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut
menjadi qath'iy bi i'tibar wa zhanniy bi i'tibar
satu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi
lain ia memberi berbagai alternatif makna.
Catatan Akhir
Dari sini jelas bahwa masalah qath'iy dan zhanniy
bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya
disepakati oleh ulama (mujma' 'alayh), sehingga tidak
mungkin lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna
yang telah disepakati itu. Bukankah ia telah disepakati
bersama?
Dalam hal kesepakatan tersebut, kita perlu mencatat
beberapa butir masalah:
a. Walaupun para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan ijma' sebagai dalil, namun agaknya tidak
diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada
abad-abad pertama tentu mempunyai banyak alasan untuk
sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya
ia menjadi qath'iy al-dalalah. "Mengabaikan persepakatan
mereka dapat menimbulkan kebingunan dan kesimpangsiuran
di kalangan umat," tulis Yusuf
Qardhawi.147
b. Harus disadari bahwa di dalam banyak kitab
seringkali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma'
menyangkut berbagai masalah --aqidah atau syari ah.
Namun, pada hakikatnya, masalah tersebut tidak memiliki
ciri ijma'. Mahmud Syaltut, mengutip tulisan Imam Syafi'i
dalam Al-Risalah, menulis demikian: "Saya tidak berkata,
dan tidak pula seseorang dari kalangan yang berilmu,
bahwa 'Ini mujma' 'alayh' (disepakati), sampai suatu saat
Anda tidak bertemu dengan seorang alim pun kecuali
semuanya berpendapat sedemikian, yang disampaikan
(sumbernya) adalah orang-orang sebelumnya --seperti bahwa
shalat zhuhur adalah empat rakaat, bahwa khamr haram, dan
yang semacamnya."148
c. Tidak semua alim atau pakar dapat dijadikan rujukan
dalam menetapkan kesepakatan (ijma') tersebut. Ibrahim
bin 'Umar Al-Biqa'iy (809-885 H)
misalnya,149
tidak mengakui Fakhruddin Al-Raziy sebagai salah seorang
yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan
"kesepakatan". Ia menulis demikian: "Tidak dirujuk untuk
mengetahui ijma' kecuali para pakar yang mendalami
riwayat-riwayat."150
d. Umat Islam, termasuk sebagian ulamanya, kerap kali
beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan
para ulama. Padahal sesungguhnya hal tersebut baru
merupakan kesepakatan antar ulama mazhabnya. Hal ini
sekali lagi berarti bahwa yang disepakati
ke-qath'iy-annya haruslah diteliti dengan cermat.
Demikianlah beberapa pokok pikiran menyangkut masalah
qath'iy. Adapun persoalan zhanniy, agaknya sudah menjadi
jelas dengan memahami istilah qath'iy yang diuraikan di
atas.
Catatan kaki
sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama.
mengandung banyak interpretasi.
Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, Kuwait,
1968, cetakan Vlll, h. 35.
Martin van Bruinessen, "Mohammad Arkoun tentang Al-Qur'an,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan EMPATI. Pada h. 2, ia
mengutip Mohammad Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter
(ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington:
Indiana University Press 1988, h. 182-183.
Annaba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1966, h. 111.
Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'ah, disunting
oleh Syaikh'Abdullah Darraz, Al-Maktabah Al-Tijariyyah
Al-Kubra, Mesir, tanpa tahun, Jilid 1, h. 29.
Badran Abu Al-'Ainain, Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy, tanpa
tahun, h. 63.
cit., h. 35.
dan Thaha 'Abdullah Addasuqy, Mabahits fi Tarikh Al-Fiqh
Al-Islamiy, Lajnah Al-Bayan Al-'Arabiy, Mesir, 1962, h.
50.
kemungkinan.
Al-Syathibi, op cit., h. 96-37
qath'iy dan sisi lain zhanniy.
Al-Qardhawiy, Fiqh Al-Zakah, Muassasat Al-Risalah, Beirut,
Cet. IV, jilid I, h. 25.
Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966,
Cet. III, h. 72.
Al-Biqa'iy adalah salah seorang pakar tafsir yang karyanya,
Nazhm Al-Dhurar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, dinilai
sebagai ensiklopedi dalam bidang sistematika runtutan
ayat-ayat Al-Quran.
Umar Al-Biqa'iy, Nazhm Al-Dhurar, manuskrip di Perpustakaan
Al-Azhar, Kairo, Mesir, no. 590-Tafsir, Jilid II, h.
197.
Soal Nasikh dan Mansukh
Seandainya (Al-Quran ini)
datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan
di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang
banyak (QS 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di
yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para
ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi
ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala
kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang
nasikh dan mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya,
ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154,
22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai
dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan,
pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan
sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus,
memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang
dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai
mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi
terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat
tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi
dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi
ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai --memiliki gejala
kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian
tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya
ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi,
den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun
kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat
perubahan kondisi sosial.
151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka
sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat
Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara
lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan
lain-lain.
Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh.
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H)
memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh
hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c)
penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat
samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu
ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu
telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang
berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode
Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh
oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah,
sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam
yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam
merupakan bagian dari pengertian
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama
yang datang kemudian (muta'akhirin). Menurut mereka naskh
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna
membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya
ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun
istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh
tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a,
dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak?
Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian
tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan 'aql dan
naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan
orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka
dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan
membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam
Taurat, menyatakan: "Tidak ada alasan yang menunjukkan
kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum
Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai
kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan
menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali
untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda
akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu
hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya
kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan
tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana
apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum
yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia
menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi
manfaatnya untuk hamba-hamba
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan
obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal
ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya
sama dengan obat-obat yang diberikan oleh
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan
AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai
dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa
nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut,
sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua,
mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya
tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun
telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin
masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di
kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan
perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar
pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas.
Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah
perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad
mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam
Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat
Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak me-naskh-kan
satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya
kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau
yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, "ayat" yang di naskh itu adalah ayat
Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.
Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak
adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan
menyatakan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat para
Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila Kami mengganti
satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui
apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya
engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam
Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah
mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a)
ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan
satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan
permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan
argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman
Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya
(Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani
menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh "pembatalan",
dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan,
maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung
naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara
tentang pembatalan tetapi "kebatilan" yang berarti lawan
dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti
batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena
adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan
berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya
merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang
dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar,
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang
dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah
dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh.
Namun demikian masalah kontradiksi belum juga
terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan
apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak
belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus
diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat
tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai
mansukh, dan yang kemudian sebagai
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari
saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan
ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif.
Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik
oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat
yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh
dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi
antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan
meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan
oleh para ulama muta'akhir, sebagaimana usaha mereka
meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan
pemikiran Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang
ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.
Muhammad 'Abduh --walaupun tidak mendukung pengertian
kata "ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai "ayat-ayat
hukum dalam Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat
tersebut menyatakan "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu" yang menurutnya mengisyaratkan bahwa "ayat"
yang dimaksud adalah mukjizat-- tetap berpendapat bahwa
dicantumkannya kata-kata "Ilmu Tuhan", "diturunkan",
"tuduhan kebohongan", adalah isyarat yang menunjukkan bahwa
kata "ayat" dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat
Apa yang dikemukakan oleh 'Abduh di atas lebih dikuatkan
lagi dengan adanya kata "Ruh Al-Quds" yakni Jibril yang
mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi
dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat
sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara
tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah) apabila
membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101
berbicara tentang "pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus
dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan
103 berbicara tentang siapa yang membawanya "turun" serta
tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada 'Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak
adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya
tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di
tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh
dengan "pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah
yang lain" (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam
arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada
kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat
atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan
demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap
dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama
dengan kondisi mereka semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah
Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap
dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip
dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Siapa yang Berwenang Melakukan
Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka
yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam
pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir
maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan bahwa Para
ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw.
me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang
membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang
apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh
Menurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat yang
dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak
--walaupun secara teoretis-- dapatnya Sunnah me-naskh
Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu
Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah
maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis
bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka
kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi
yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara
umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat
menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah
wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini
kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian,
mereka berselisih tentang cakupan kata "wahyu Ilahi"
tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir,
disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi:
"Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti
ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin
me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti
Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang
pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa
persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada
pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah
"apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah
membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan
empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir),
namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat
Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir
yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi
lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan
teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat --kalau hal
tersebut dinamai naskh-- bukannya hadis tadi, melainkan ayat
yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis "La washiyyata li
warits" (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk
penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan
sebagai me-naskh ayat "kewajiban berwasiat" (QS 2:180),
ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi:
Sesungguhnya Allah telah memberikan
kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada
(tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima
warisan.
Kata-kata "sesungguhnya Allah telah memberikan" dan
seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu,
hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah
ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang
bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah
"pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya
di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan
pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus
yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi
sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada
tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman
keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai
dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu
di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan
bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami
mengganti suatu ayat ...", kata "kami" di sini menurut hemat
penulis, sebagaimana halnya secara umum kata "Kami" yang
menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain,
menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam
perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada
masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia
(yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian
banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran
yang mansukh atau diganti itu.
Catatan kaki
Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy,
Mesir, cet. II, 1952, Jilid I, h. 281. Lihat juga
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy,
Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, Dar Al-Ma'arif, Beirut,
1975, jilid III, h. 108.
Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy,
Mesir 1980, Jilid II, h. 254.
Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy,
Singapura, t.t.h., jilid I, h. 151.
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946,
jilid I, h. 187.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar,
Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1, h. 415-416.
Al-Zarqani, op cit., h. 208.
209.
Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
Al-Zarqani, op cit., h. 237.
cit., h. 105.
Problematik Tafsir
Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam
studi-studi keislaman. Di samping berfungsi sebagai huda
(petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan
(pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara
kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan
penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.
Keberadaan Al-Quran di tengah-tengah umat Islam, ditambah
dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan
mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan sekian banyak
disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian. Ini
dimulai dengan disusunnya kaidah-kaidah ilmu nahwu oleh Abu
Al-Aswad Al-Dualiy, atas petunjuk 'Ali ibn Abi Thalib (w.
661 M), sampai dengan lahirnya ushul al fiqh oleh Imam
Al-Syafi'i (767-820 M), bahkan hingga kini, dengan lahirnya
berbagai metode penafsiran Al-Quran (yang terakhir adalah
metode mawdhuiy atau tawhidiy).
Di sisi lain, terdapat kaum terpelajar Muslim yang
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ini antara lain didorong
keinginan untuk memahami petunjuk; informasi dan mukjizat
Al-Quran. Karena Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek
kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang
merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka
kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar
tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada
bidang-bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran.
Syaikh Muhammad 'Abduh menegaskan --sebagaimana ditulis
oleh muridnya, Rasyid Ridha-- dalam Muqaddimah Tafsir
Al-Manar: "Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat
menafsirkan firman Allah SWT, yang berbunyi 'Kana al-nas
ummah wahidah' (QS 2:213), kalau dia tidak mengetahui
keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan
sosiologi)." Tentunya pernyataan ini berlaku pula dalam
hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi,
embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran.
Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi,
pemikir Muslim kontemporer asal Aljazair itu, bahwa "Tidak
seorang Muslim pun dewasa ini --lebih-lebih yang bukan dari
negara-negara berbahasa Arab-- yang dapat memahami
kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan
sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam."
Penegasan tersebut berarti tidak seorang pun dewasa ini
yang dapat merasakan secara sempurna keindahan bahasa
Al-Quran --yang merupakan salah satu mukjizatnya-- sejak
lunturnya kemampuan dan rasa kebahasaan orang-orang Arab
sendiri. Dan karena itu, kata Malik lebih jauh, harus
diupayakan untuk mencari pembuktian lain yang sesuai. Untuk
maksud tersebut, ia telah mencoba dalam bukunya, Le
Phenomena Quranic, melalui pendekatan sejarah agama.
Apa yang dilukiskan di atas menjadi salah satu bukti
betapa pentingnya. studi tentang Al-Quran. Akhirnya,
walaupun bukan yang terakhir, kenyataan menunjukkan bahwa
seluruh kelompok dan atau aliran yang berpredikat Islam,
selalu merujuk kepada Al-Quran (dan hadis), baik ketika
menarik ide-ide maupun ketika mempertahankannya. Semua itu
membuktikan bahwa Al-Quran menempati posisi sentral dalam
studi-studi keislaman.
Baiklah kita mengemukakan satu contoh. Dewasa ini tidak
seorang pakar atau ulama pun menolak ide dasar pendapat yang
menyatakan bahwa metode ma'tsur, yakni memahami atau
menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat yang lain atau dengan
hadis-hadis Nabi Muhammad saw. dan pendapat para sahabat
sebagai metode tafsir terbaik. Masalahnya, yang dikandung
oleh pendapat di atas tidak luput dari kekurangan yang masih
memerlukan pemikiran yang serius.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul, sehubungan
dengan metode tafsir ini, antara lain adalah: Siapa yang
berwewenang menetapkan bahwa ayat A ditafsirkan oleh ayat B?
Apakah hanya Rasulullah saw. sendiri, atau para sahabat,
bahkan atau juga ulama-ulama sesudahnya, misalnya Al-Thabari
dan Ibnu Katsir? Apa kriteria yang harus dikandung oleh
masing-masing ayat untuk maksud tersebut? Dan banyak
pertanyaan lain. Kesemuanya masih memerlukan jawaban atau
penjelasan yang konkret, karena --kalau tidak-- dapat saja
terjadi penafsiran ulama yang menggunakan ayat Al-Quran
menempati posisi yang lebih tinggi daripada penafsiran Rasul
saw. Ini menjadi masalah, sebab, bukankah para ulama
terdahulu menyatakan bahwa peringkat tertinggi dari
penafsiran adalah penafsiran ayat dengan ayat, baru kemudian
disusul dengan penafsiran Rasulullah saw. (hadis), dan
terakhir adalah penafsiran para sahabat? Ini merupakan salah
satu contoh permasalahan masa lampau yang perlu
diselesaikan.
Dewasa ini, cukup banyak tantangan yang dihadapi
masyarakat Islam, bahkan umat manusia, yang menanti petunjuk
pemecahannya. Ini harus diantisipasi. Sebab, bukankah
kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah berfungsi
"memberi jalan keluar bagi
perselisihan dan problem-problem masyarakat" (QS
2:213)? Umat Islam, melalui para pakarnya, dituntut untuk
memfungsikan Al-Quran sebagaimana ditunjuk di atas; dan hal
ini tidak mungkin dapat terlaksana tanpa pemahaman secara
baik atas petunjuk-petunjuk kitab suci itu.
Pengertian dan Tujuan Pengajaran
Tafsir
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli
tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul
akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah
yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman
Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan
menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah
berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari
ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran
berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat
beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan
tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti
dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan
suatu cabang ilmu.
Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat
kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat
disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah
"suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah
SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan
pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama
memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau
menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis,
disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam
pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif
singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi
kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar
Al-Quran daripada definisi pertama.
Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan
ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat
tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan.
"Al-Shina'ah thawilah wa al-'umr, gashir, " demikian kata
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum
Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan keanekaragaman
disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat
selektif dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung
dalam satu kurikulum, suatu hal yang sering mengakibatkan
pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan atau
disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.
Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk menekankan
perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir
di IAIN.
Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan akhir yang
ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi
tujuan kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi
terbatas hanya pada bidang kognitif tanpa mempermasalahkan
segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta didik.
Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan tinggi
seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna
suatu ayat, atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam
bidang disiplin ilmu, tetapi melampaui hal tersebut, yaitu
dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak dapat
mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya
secara mandiri.
Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir, maka
materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu
tafsir yang diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan
pada kandungan arti suatu ayat atau masalah tertentu, satu
hal yang selama ini telah mengakibatkan tumpang-tindihnya
permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga
memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak
didasarkan pada cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat
mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang dimaksud.
Pokok Bahasan Tafsir
Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau 'Ulum
Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam
Al-Burhan, maka akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak
termasuk di dalamnya materi tafsir dan pengenalan terhadap
kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya,
sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum
memadai.
Hemat penulis, secara garis besar, terdapat sekian banyak
pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh
mahasiswa IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok
bahasan itu antara lain:
1. Pengenalan terhadap Al-Quran
Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a) persoalan
wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran
dan kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c)
garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa
Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun
agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e)
otentisitas Al-Quran (tinjauan historis); (f) batas-batas
keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Quran; dan (g)
sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik
diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi
utuh.
2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu
Tafsir
Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan ta'wil;
(b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul;
(d) al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan
al-mutasyabih; (f) sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan
Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran tafsir yang populer;
dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik
diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan
tafsir, kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang
dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan
materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan
materi tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya
secara mandiri untuk memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar
pertimbangan tersebut, dapat kiranya dikemukakan di sini
beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya
tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut
dapat dibagi sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
Materi 'Ulum Al-Quran
Materi-materi 'ulum Al-Qur'an dapat dibagi dalam empat
komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2)
kaidah-kaidah tafsir; (3) metode-metode tafsir; dan (4)
kitab-kitab tafsir dan para mufasir.
Pengenalan terhadap Al-Quran
Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b) rasm
Al-Quran, (c) i'jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e)
qishash Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran,
(h) amtsal Al-Quran, (i) naskh dan mansukh, (j) muhkam dan
mutasyabih, dan (k) al-qira'ah.
Kaidah-kaidah Tafsir
Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan yang harus
diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika
yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan
(c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat
Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul
fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.
Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1)
kaidah ism dan fi'il, (2) kaidah ta'rif dan tankir, (3)
kaidah istifham dan macam-macamnya, (4) ma'ani al-huruf
seperti 'asa, la'alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah
su'al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah
sesudah larangan, (8) kaidah penyebutan nama dalam kisab,
(9) kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan
lain-lain.
Metode-metode Tafsir
Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga
coraknya: al-ra'yu, al-ma'tsur, dan al-isyari, disertai
penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu
penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga
metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy,
ijmaliy, muqarin, dan mawdhu'iy.
Kitab-kitab Tafsir dan Para
Mufasir
Komponen ini mencakup pembahasan tentang kitab-kitab
tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa Arab,
Inggris, atau Indonesia, dengan mempelajari biografi, latar
belakang, dan kecenderungan pengarangnya, metode dan
prinsip-prinsip yang digunakan, serta keistimewaan dan
kelemahannya.
Pemilihan kitab atau pengarang disesuaikan dengan
berbagai corak atau aliran tafsir yang selama ini dikenal,
seperti corak fiqhiy, shufiy, 'ilmiy, bayan, falsafiy,
adabiy, ijtima'iy, dan lain-lain.
Materi Tafsir
Sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi
ayat-ayat di samping berdasarkan kandungannya, juga, dan
yang terutama, peranannya dalam menunjang pemahaman
materi-materi 'ulum Al-Quran, baik untuk pemahaman lebih
dalam tentang Al-Quran, maupun contoh-contoh penerapan
kaidah-kaidah tafsir dan metode-metodenya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan materi ayat-ayat
berikut, yang mendukung berbagai materi 'ulum Al-Quran: (1)
Kisah: Al-Kahfi ayat 9-26 (ashhab al-kahfi), 83-101 (Dzu
Al-Qarnain); Al-Qalam ayat 18-33 (ashhab Al-Jannah); (2)
Jidal: Saba' ayat 24-7; Al-Hajj ayat 8-10 (etika
berdiskusi); (3) Amtsal: Al-Nur ayat 45; Al-Baqarah ayat
261-5; (4) Aqsam: Al-'Ashr dan Al-Dhuha, (5) pengulangan
ism: Al-Insyirah ayat 5-6; (6) Al-Nakirah fi Siyaq Al-Nafi:
Yunus ayat 107; dan lain-lain.
Catatan kaki
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Quran, Al-Halabi, Mesir,
1957, Jilid 1, h. 12. Artinya, "ilmu pengetahuan amat luas,
sedangkan usia itu pendek".
Penafsiran "Khalifah" dengan Metoda Tematik
Ada dua bentuk metode penafsiran tematik:
(1) Penafsiran satu surah dalam Al-Quran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau
tema sentral surah tersebut, kemudian menghubungkan
ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan
tema sentral tersebut.
Metode ini diterapkan pertama kali oleh Al-Syathibi
dan dan dikembangkan juga antara lain oleh Mahmud
Syaltut.
(2) Menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas
masalah tertentu dari berbagai surah Al-Quran (sedapat
mungkin diurut sesuai dengan masa turunnya, apalagi jika
yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan
sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian
menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai
kaitan dengan tema atau pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan pembahasan
sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Quran menyangkut tema
(persoalan) yang dibahas.
Dalam hal menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan satu
tema, beberapa ulama menekankan bahwa tidak selalu
keseluruhan ayat yang berbicara tentang tema tertentu harus
dikumpulkan. Boleh saja --kata mereka-- ayat-ayat yang
diduga keras telah dapat diwakili oleh ayat-ayat lain, tidak
lagi diangkat.
Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek dari
ayat-ayat yang berbicara tentang khalifah dengan menggunakan
metode tematik dalam bentuknya yang kedua di atas. Namun,
tidak dengan mengangkat seluruh ayat-ayat yang berbicara
tentang persoalan ini dalam berbagai redaksinya, karena hal
tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan waktu
yang cukup lama.
Arti Kata Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali
dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat
26.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran,
yaitu:
(a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali,
yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir
39.
(b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada
surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang
pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah
seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah
yang digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat fi Gharib
Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti
melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama
yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut,
Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat
terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat
penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan
bentuk-bentuk kata di atas (khalifah, khalaif, khulafa')
masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang
sedikit atau banyak berbeda degan yang lain.
Kalau kita bermaksud merujuk kepada Al-Quran untuk
mengetahui kandungan makna kata khalifah (karena ayat
Al-Quran berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat
lainnya), maka dari kata khalifah yang hanya terulang dua
kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan
memperhatikan ayat-ayat surah Shad yang menguraikan sebagian
dari sejarah kehidupan Nabi Daud.
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh Al-Quran,
berhasil membunuh jalut:
Dan Daud membunuh jalut.
Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta
mengajarkannya apa yang Dia kehendaki ...
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada
Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah
tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang
mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah
bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan
politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan
bentuk khulafa : (Perhatikan ketiga ayat yang ditunjuk di
atas). Ini, berbeda dengan kata khala'if, yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada
akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak
memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Quran khala'if;
tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak
digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya
mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap
orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain,
berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang
politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi
seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau
diktator.
Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang
menggunakan kata khalifah untuk Adam as., maka ditemukan
persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud a.s.,
baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks
uraian.
Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud,
juga diberi pengetahuan --Wa 'allama
Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya
berkaitan dengan Al-Ardha:
Inni ja'il fi al-ardhi
khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi
al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran sebagai
pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca
masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan
sementara, yaitu:
(1) Kata khalifah digunakan oleh Al-Quran untuk
siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas
maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (947-1000 S.M.)
mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara
potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara
aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat
mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud
diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca
QS 20:16, dan QS 38:261.
Arti Kekhalifahan di Bumi
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, Al-Sunan
Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an, yang antara lain mengupas ayat
30 Surah Al-Baqarah dengan menggunakan metode tematik,
mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang
saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat
yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan
dalam pandangan Al-Quran.
Ketiga unsur pertama adalah:
- Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah.
- Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai
ardh.
- Hubungan antara manusia dengan alam dan segala
isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat
dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai
khalifah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan
penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan
unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan
oleh ayat tersebut dengan kata inni jail/inna ja'alnaka
khalifat yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT.
Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang
ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam
sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal
inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti
akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan
dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan
bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah
menjadikan kamu).
Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa
penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah
mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam
pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam
pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan
pihak lain selain Allah, yakni masyarakat
(pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, maka di sini wajar
apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal,
bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang
dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi
juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak
lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan
tersebut.
Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah-- yang
terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut
untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena
mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif.
Tidak dikuatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari
khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar
menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri
memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu
bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah yang
berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil
Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam
memahami dan mempraktekkan kekhalifahan itu.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia
dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk
dan yang ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi
hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.
Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun
hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah
Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya
interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera
dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan
kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan
dan situasi lingkungannya.
Dalam ayat 32 surah Al-Zukhruf ditegaskan bahwa,
Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat
saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan.
Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami arti
sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama
lain adalah hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam
kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah
partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis
apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang
melebihi perolehan yang lemah.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak
dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan
masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. Karena,
jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak
akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya sikhriya,
seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang
menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu
kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh
Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan
interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan
kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas dengan
menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang
lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi
antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah
yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan
hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga
etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa
saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi
memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri
mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS
59:9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan
(kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain,
dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat
lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap
terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang
dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan
negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya
mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang
dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia
ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika
agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam
raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan
semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu.
Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain
yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia
atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang
diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan
manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta
interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang
dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu
mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan
di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain
melalui surah Al-Jin ayat 16:
Dan bahwasanya, jika
mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk
petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka
air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan
(kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang
dikemukakan Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi
kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan
perkembangan masyarakat, demikian kandungan ayat di atas.
Perkembangan inilah yang merupakan arah yang dituju oleh
masyarakat religius yang Islami sebagaimana digambarkan oleh
Al-Quran pada akhir surah Al-Fath, yang mengibaratkan
masyarakat Islam yang ideal:
... sebagai tanaman yang
tumbuh berkembang sehingga mengeluarkan tunasnya dan
tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi
besar dan tegak lurus di atas pokoknya . . . (QS
48:29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika
dilandasi oleh rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas
istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan
etika agama apabila rasa aman dan sejahtera menghiasi setiap
anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang
dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia
menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia,
maka dapat pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan
dalam pandangan agama adalah pada saat manusia berhasil
mewujudkan bayang-bayang surga di persada bumi ini.
Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke bumi, hidup
dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka
sandang, pangan, dan papan; dan ketika itu mereka
diperingatkan agar jangan sampai terusir dari surga karena
akibatnya mereka akan bersusah payah memperolehnya (QS
20:117-119). Mereka juga diharapkan agar mengikuti
petunjuk-petunjuk Ilahi, karena dengan demikian mereka tidak
akan merasa takut atau merasa sedih.
Agama tidak mendefinisikan perkembangan masyarakat dan
tujuan pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan
pelayanan. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
Barangsiapa yang tidak
berpendapat bahwa Tuhan memiliki anugerah untuknya selain
dari makanan, minuman dan kendaraan, maka sesungguhnya ia
telah membatasi usahanya dan mempercepat kehadiran
ajalnya.
Arah yang dituju oleh istikhlaf adalah kebebasan manusia
dari rasa takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang
berkaitan dengan persoalan sandang, pangan dan papan, maupun
ketakutan-ketakutan lainnya yang berkaitan dengan masa
depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak.
Ayat-ayat yang berbicara tentang la khawf 'alayhim wa la hum
yahzanun tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan
kesedihan di akhirat, tetapi dapat pula mencakup ketakutan
dan kesedihan dalam kehidupan dunia ini.
Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian banyak
sikap yang dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof.
Mubyarto mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal
tersebut:
- Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan
ia harus bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.
- Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus
keterlaluan menghabiskan tenaganya.
- Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan
hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
- Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan
kemampuannya.
- Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga
seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang
lain.
Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan
seperti telah dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat yang
disebut di atas, digambarkan oleh Al-Quran dalam dua
bentuk:
(1) Penganugerahan dari Allah (Inni
jail fi al-ardh khalifah).
(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan
dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah
Al-Ahzab ayat 72:
Sesungguhnya kami
menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu
(Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun
menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi
bodoh.
Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah
sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang
berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan ini
diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah
atas pertanyaan malaikat:
Apakah engkau akan
menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan
menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji
engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang
kalian tidak ketahui." (QS 2:30).
Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa
saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang
lingkup tugas-tugas mereka.
Sifat-sifat Terpuji Seorang
Khalifah
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam
mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja
-katanya lebih lanjut-- kata Imam digunakan untuk
keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung
arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari
kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang
sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri
ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali
dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu
pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani"
Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada
Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra' ayat
71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat
12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat
yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang
dicari jawabannya ini, yaitu ayat Al-Baqarah 124 yang
berbunyi: [tulisan Arab] dan ayat Al-Furqan 74, yang
berbunyi: [tulisan Arab].
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya
mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi
orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah
yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah
untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li
al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar
kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT
menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la
yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak
diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian,
dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat
adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan,
maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalifah yang
disebut namanya dalam Al-Quran (Adam dan Daud a.s.) keduanya
pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun
terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan
mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca
antara lain QS 7:23), sedangkan "penganiayaan" yang
dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang
bertikai dan datang kepadanya meminta putusan (QS 38:22, dan
seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai
itu berkata kepada Daud:
Berilah keputusan antara
kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari
kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada
hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan
untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan
pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi
putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak
menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung
makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun
Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25).
Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan
tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
Wahai Daud, Kami telah
menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan
antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa
nafsu ... (QS 38:26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa
nafsu, belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus
mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua
orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa'
al-shirath.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan
sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi
jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang
Imam/a'immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang
menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud tersebut,
terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran
Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di
antaranya dalam konteks pembicaraan tentang
pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni
Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga
lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji,
yaitu Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah
ayat 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5
tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan
ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling
melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh
gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
- Yahduna bi amrina.
- Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
- 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan
Ita'Al-Zakat).
- Yuqinun.
- Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan
ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan
Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat
yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat
lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri
mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam
kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti wa
ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah
satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah
memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang
a'immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi
Wa ihdina ila ..., sedang dalam
ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang dikutip di
atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina. Salah satu
perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama
menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila.
Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila
menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk;
sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni
"memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa
yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti
bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah
mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang
kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak
sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh
sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah
daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka
memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari
sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni
Wa awhayna ilayhim fi'la
al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an taqum", maka ini
berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan
ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami
dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut.
Sedangkan bila dikatakan, "Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi
yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan
bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan
kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian
Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il
Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat
luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang berbeda.
Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di
dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan
keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya
sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
Ruang Lingkup Tugas-tugas
Khalifah
Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalifah adalah
siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik
besar atau kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan
tugas-tugas seorang khalifah. Namun, ada suatu ayat yang
bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian besar
ayat lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:
Orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
munkar ... (QS 22:41)
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang
baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan
gambaran dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia.
Ma'ruf adalah suatu istilah yang berkaitan dengan segala
sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan
sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan
oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban
untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan
Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama,
akal dan budayanya terpelihara.
Riba Menurut Al-Quran
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau
keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh
setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma'
seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang
dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran
dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas
masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar
mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil
meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek
transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah
praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan
itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada
praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak
masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih
terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu
mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa
waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin
Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba
Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir
Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat
sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang
meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan
itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar
r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang
ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan
dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi
masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku
Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah,
merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat
perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim
di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah
mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di
sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan
aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang
hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal
prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari
tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul
Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan
lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan
tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik
terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama
dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan
bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan
tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang
diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga
bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut,
logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup
beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan
mereka dengan menyatakan "Tuhan
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS
2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak
dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan
"sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak
delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah,
Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah
"Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang
surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau
hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang
riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan
sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah
kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah
pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari,
Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat
bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah
ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan
terakhir tentang riba,
167
yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika
kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,
168
berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim
dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta
orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran
lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan
mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang
secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda,
merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161
Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi
yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam
rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan
tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada
tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di
dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat
tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap
ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu
bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir,
diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya
(Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas,
kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat
yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa
mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan
suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat
mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan
seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu
turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang
dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut,
kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat
pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan
kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya
sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami
pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena
sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan
kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan
praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat
Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas
terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek
riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik
dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas
sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta
dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum
39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama
yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir
tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.
menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba
halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba
Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu
'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat
tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di
atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam
menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf,
yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan
huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat
lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini,
Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba
yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba
yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan
menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan
Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami
kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan
mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum
ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan
dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan
Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan
kelebihan tersebut haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti
Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak
(plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu
bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya
(ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan
yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan
sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian
adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa
turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada
masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya,
ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau
kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu
(untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak
ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang
lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila
yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun
kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian
binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun
ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun
keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun
kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya
materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia
tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi
100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi
terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah
SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu
bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain,
kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan)
sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka
ditundalah pembayaran tersebut
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa
jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain
(dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah
tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki
kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan
ditangguhkan masa pembayarannya.
178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya
dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130
surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi
menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut.
Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan
oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi,
tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor
(riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal
ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam
Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada
masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau
berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang
fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa
pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat
keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti
memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah
lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu
merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit
penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah
tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan
peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka,
maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai
imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah
(riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash
Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat
pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat
kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan,
tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini
mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami
masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga
memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari
jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan
tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2)
memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa
penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak
menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda.
Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi
syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di
atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan
bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah
kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai
dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang
mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan
harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik
secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad
Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan
Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar,
menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada
seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi
oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya
tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai
imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada
akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan
menerima tawaran tersebut secara tidak
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah
berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang
dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula
yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah
yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat
ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi
tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat
ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan
bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak
berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain
menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi
penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada
masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka
lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan
adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu
diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba,
khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena,
sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun
pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan
adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah
wa dzaru ma bagiya min al-riba.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang
berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba
adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk
membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini
merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan
Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan
kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid
Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu
kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian
kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama.
Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah,
demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini
berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir
sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang
berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat
berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan
kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba
pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan
kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali
'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat
tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan
Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan
dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya
sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang
arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan
terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh
sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah
kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan
kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam
redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran,
serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan
syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah
ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak
dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis,
kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan.
Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan
banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari
keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang
secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif.
Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba)
mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta
benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah
278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang
berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah
itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang
melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan
bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi.
Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih
ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat
mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya
larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan
tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut
untuk menegaskan larangan memungut sisa riba
tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat
lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut
berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba,
yakni yang berlebih dari modal
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam
Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni
"Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian
riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian
riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah).
Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan
pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya
dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah
yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang
diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa
bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat
"berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci
berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu
modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak
mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika
demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal
tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa
yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak
dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini
menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan
baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran
dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata
adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan
tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata
adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia
syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya
pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan
adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi
bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama
seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang
diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut,
yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya
dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang
praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah
dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut
mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang
yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan.
Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat
Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat
dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah,
seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa
kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya
sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan
sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman
tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan
bahwa, Dan jika orang yang berutang
itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada
waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia
berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua
utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa
kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk
pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan
Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah
bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang
dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur
penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau
penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw.
yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw.
pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada
seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk
menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai
umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak
mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau
memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang
yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna
khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang
sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah
mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau,
dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas
kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu
qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang
menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram).
Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya,
sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah
ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir
Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud
Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika
seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang)
untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil
usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini
menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta,
sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa
satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta
menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan
dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan
hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan
tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal
Catatan kaki
riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari
sebelum Rasulullah saw. wafat.
Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1,
h. 477.
Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan
Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h.
60.
Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy,
Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.
Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut,
1971, jilid I, h. 389.
Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an,
Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an,
tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid
III, h. 1479.
Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy,
Singapura, t.t., jilid III, h. 434.
Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu
Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h.
409.
Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid
III, h. 113.
Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an,
Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
h. 101.
Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
cit., Jilid III, h. 101.
cit., Jilid II, h. 113-114.
Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
loc. cit.
cit., Jilid III, h. 106-107.
Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir,
1952, Jilid V, h. 245.
Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa
Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
loc. cit.
Bahasan Riba oleh Ulama lain
oleh Yusuf Qardhawi
______________________________________________
Bunga Bank Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu
saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi
zakat yang saya keluarkan.
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
JAWABAN
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Antara lain Baqarah: 278-279)
Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap
pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan
atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya
dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun
kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara
pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik
modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami
kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem
ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia
mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama
muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau
lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu
--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang
dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena
harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank
untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada
jalan-jalan kebaikan.
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa
sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga
memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian
dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari
kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini
menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab
tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan
manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat
bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering
terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah
(kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)
dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga
mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi
apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi
dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut
menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada
kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau
bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang
mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan
tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya
bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
HUKUM KERJA DI BANK Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya tamatan sebuah akademi perdagangan yang telah berusaha mencari
pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya kecuali di
salah satu bank. Padahal, saya tahu bahwa bank melakukan praktek
riba. Saya juga tahu bahwa agama melaknat penulis
riba. Bagaimanakah sikap saya terhadap tawaran pekerjaan ini?
JAWABAN
Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba
dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat
menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan dapat
mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.
Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur'an dan As Sunnah serta
telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda
membaca firman Allah Ta'ala berikut ini:
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al Baqarah: 276)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu ..." (Al Baqarah: 278-279)
Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda
"Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu
negeri, berarti mereka telah menyediakan diri
mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR Hakim)1
Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar
memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia
harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak
terlibat dalam kemaksiatan itu. Karena itu Islam
mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan
permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu
kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik
pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil,
perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan,
Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:
"Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu
dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan
membenamkan mereka dalam neraka." (HR Tirmidzi)
Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda:
"Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya,
pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya,
dan yang dibawakannya." (HR Abu Daud dan Ibnu
Majah)
Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:
"Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang
menerima suap, dan yang menjadi perantaranya." (HR
Ibnu Hibban dan Hakim)
Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:
"Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi
makan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi
saksinya." Dan beliau bersabda: "Mereka itu sama."
(HR Muslim)
Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
"Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba
dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang
saksinya, dan penulisnya." (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
"Orang yang makan riba, orang yang memben makan
dengan riba, dan dua orang saksinya --jika mereka
mengetahui hal itu-- maka mereka itu dilaknat
lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat."
(HR Nasa'i)
Hadits-hadits sahih yang sharih itulah yang menyiksa hati
orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah
(persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari
tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa
masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank
atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan
yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana
umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:
"Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang
pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan
akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya
maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan
Ibnu Majah)
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya
dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan
yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi
yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat
diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.
Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap
dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan
perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan
bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan
perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap
permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam
ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam
hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama,
apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka
lebar.
Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini
hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap
kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat
untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri,
sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh
perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang
tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham
sosialis.
Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di
bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh
orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada
akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak
semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan
tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti
kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan
sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena
itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan
tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata
perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang
diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini
hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah
menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta
umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:
"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia
niatkan." (HR Bukhari)
Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan
kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah
mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan
saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai
sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman
Allah SWT:
"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173}
Catatan kaki:
1 Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih isnadnya.
2 Tirmidzi mensahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula
oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka mensahihkannya.
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam
ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara
lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan
keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari
lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu
adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak
sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat.
Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam
kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita
mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka
kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam
bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika
itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan
perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan
dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin
tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada
perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada
mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang
cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua
jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas
yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum
Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang
ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang
itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta
memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya
adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak
jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan
tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang
bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan,
dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam
berbagai bidang.
Asal Kejadian Perempuan
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah
perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka
merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan?
Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya
perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab
terusirnya manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan
pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan
pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam
dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan
beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh
Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah
Al-Nisa':
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang
membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa
keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari
keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan
keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih
(dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang
berbunyi:
Saling pesan-memesanlah
untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu
Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami
secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat
kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup
banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari
hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis:
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi
yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat
yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian
majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan
mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap
tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan
sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya
akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.
Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di
atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah
menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya Kami telah
memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami
beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan
perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang
diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik
perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat
195 surah Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah
bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian
kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan
ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain
(yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin
ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari
segi asal kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki
maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan
antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena
itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran
seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak
perempuan:
Dan apabila seorang dari
mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan,
hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih
(marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak
disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya
itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka
tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha
Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang
membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang
kemanusiaan.
Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan
rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa)
tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan
godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa
dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya
tanpa perbedaan, seperti:
Maka setan membisikkan
pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh
setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari
keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS
2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru
menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai
pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan
pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam,
maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan
yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan
pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala
pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan
kedudukan dan asal kejadiannya.
Hak-hak Perempuan
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai
ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam
sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada
hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian)
dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan
hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan
kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki
oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang
Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para
pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum
perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat
71:
Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah
awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran
tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan
dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah
yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama,
bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung
oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi
kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat
(kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan
masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan
memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam
kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana
tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari
kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
Barangsiapa yang tidak
memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia
tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi
yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar
belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan
demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan
termasuk bidang kehidupan politik.
194
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada
mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu)
diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk
membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan
perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip
pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut
Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap
warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk
senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki
maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak
ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami
sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang
kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik.
Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum
perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan,
tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada
zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi
dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah
Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para
perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk
menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan
untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang
berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan
firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34,
Lelaki-lelaki adalah pemimpin
perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata
mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga
hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan
mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan
ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan
dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang
disebutkan itu.
Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan
lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya
dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun
tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk
dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya
walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara
kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.
Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad
saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang
musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang
politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni
Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn
Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi
setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama
Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan
itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu
menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam
politik praktis sekalipun.
Hak-hak Perempuan dalam Memilih
Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam
pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam
berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara
mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah
maupun swasta, selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula
menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak
untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan
atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan
pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka
terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu
Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam
Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan
di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan
lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif
pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja
sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan
yang merias, antara lain, Shafiyah bin
--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat
atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang
sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada
Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.
Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut
diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila Anda akan membeli
atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda
inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian
Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan
sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja
sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu
beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya
ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan
oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada
masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di
samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi
bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan
kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan
mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam
hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik "permainan"
seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim
dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal
di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan
lelaki."
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun,
sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya
menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa
pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu
membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap
terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai
hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi.
Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak
dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara
(Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan
masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya
kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar
pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela
dan penuntut dalam berbagai
Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang
berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut
ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari
Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang
telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan
para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena
makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba
ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk
belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan
Muslimah).
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar
kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar
beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk
mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan
ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang
berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi.
Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar
manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan
hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang
dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja,
tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang
berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas.
Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka,
ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka
mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman:
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari
alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat
ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari
apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka
masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan
sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah
seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula
sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas
ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai
pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah setengah
pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira'
(Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari
Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan
banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi
lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi
guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah
(putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi),
Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan
Abdul-Latif Al-Baghdadi.
201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan
ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah
Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar
hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki
status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian
dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah
mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana
dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang
melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi,
sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.
202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun,
Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang
disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak
mustahil mereka akan tekun pula mempelajari
disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah
kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama
kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban
mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah
tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal keagamaan."
203
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan
menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang.
Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa
mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq
Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga
kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama.
Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat
fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada
masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada
tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas
yang lain:
Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi
lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan)
dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka
peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu (QS 4:32).
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki
Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar
Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.
Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat
lil Azhar, 1959, h. 193
Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid
IV, h. 330.
Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam
Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad,
t.t., h. 13.
Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama'
Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h.
60.
Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar,
Kairo, Dar Al-Syuruq 1979, h. 76.
para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat,
karya Ibnu Hajar, jilid IV.
Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif,
1965, h. 47.
Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 79.
Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di
dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya
surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan
bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw.
berhijrah ke Madinah.
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan
langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya
ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan
(demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca
itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah
sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang
turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai
malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah
satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang
oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu
bulan".
Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi
sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima
belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan
sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap
orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah
ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya
(seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya
pepohonan, dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan
yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadr
itu.
Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim
berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang
bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah
"malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan
segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS
44:3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab
Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada
bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS
97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah
diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh
adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu
Wa ma adraka ma laylat
Al-Qadr.
Tiga belas kali kalimat ma
adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya
mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari
kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm
Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya.
Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh
akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil
dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat
tiga kali yang mengatakan: Ma adraka
ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma
laylat al-qadr.
Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang
menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal
yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara
sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya
termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita,
kali ini.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara
pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh
Al-Quran dalam tiga ayat.
Wa ma yudrika la 'alla
al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)
Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata
qarib ... (Al-Syura:17)
Wa ma yudrika la allahu yazzakka
(Abasa: 3).
Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah
pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua
apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya
hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib.
Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk
hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw.
sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan,
namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi
saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari
beliau.
Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus
dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena
di sanalah dapat diperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam
itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai
demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga
arti:
- Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat
Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi
perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh
penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang
disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu
dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam
Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT
mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi
Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada
agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu
maupun kelompok.
- Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia
yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai
malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik
tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr
yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah
Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik:
Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz
qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka
itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
- Sempit. Malam tersebut adalah malam yang
sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi,
seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr:
Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang
berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam
ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah
yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah
melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan
mempersempitnya [bagi yang
dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi
benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia,
yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan
manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke
bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian,
sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah
Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan
tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali,
yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu.
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu
Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat
sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak
ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam
mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang
diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih
menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar,
menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang
menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr
sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan
berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks
hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada
setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan
umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu
secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua
puluh hari Ramadhan.
Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu
terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti
bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga
berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena
Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor
intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan
juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present
tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata
Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan,
atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang
yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun,
dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang
terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain,
ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang
bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian
tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan
seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik
material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang
yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan
bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat
Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu,
walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah
ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun
ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian
juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan
menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan
penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang
berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai
satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam
mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya
Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf
(berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari
terakhir pada bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi,
dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu
malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat
menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa
mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat
titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di
dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat
akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan
sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari
kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang
dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam
Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia.
Abduh memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua
macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia
seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa
yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu
menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang
memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang
membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak
penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.
Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui
orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia
akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu
terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan
selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak
terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai
akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak."
Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan
sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka
perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci,
tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid,
seseorang diharapkan merenung tentang diri dan
masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar
dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna
memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah
sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan
untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan
ketakwaan.
Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi
pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira,
merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa
beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril)
membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah
perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan
perjalanan hidup umat manusia.
Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang
beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan
i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan
dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam
Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat
yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada
sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah
beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati
maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi
al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini
bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan
dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi
bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti
permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti
upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang
diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas
dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian
kelak.
Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka
jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat.
Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul
saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau
'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia
merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt
Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan
melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat
singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran
disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini
membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan
menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas)
dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau
ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari
bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin
kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan
yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum
empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin
lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak
mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh
beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan
diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena
ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat
dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan
oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka
yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya
adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu
Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila
Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh
sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa
tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya
berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh
Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran
adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan
keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj
merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut.
Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap
sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam
bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya
yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa
manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif
membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran
menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan
masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas
mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah
mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni
al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan
Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga
bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan
dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan
ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut
sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang
hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat
secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka
ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan
pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu
memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya.
Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian
dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat
Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat
tersebut, seperti dikatakan oleh
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra'
adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang
berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak
keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada
jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang
bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya
terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk
lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh
selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri
menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat
madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi
sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua,
dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin
dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang
berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan.
Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang
dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk
mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota
masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga
puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak
pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam
hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang
ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban
ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya
dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai
pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya.
Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul,
adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan
indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan
sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang
dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan
pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di
sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari
Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu
meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah
datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah,"
mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan
datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar
bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu.
Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia,
perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat
kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya
Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan
hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan
kalimat: Maka perkataan Kami kepada
sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan
kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS
16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem
gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem
gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu
lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan
para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan
bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan
waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya.
Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang
Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut
Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab
tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan,
tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui
oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului
atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan
bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu,
muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun
kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah
yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar
suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan
bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume.
"Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah
penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum
David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian
dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar
untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah
akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac
Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada
lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar
dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan
oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan
"kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu
proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan
Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang
terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan
nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran,
"Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat
pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya:
Kepada Allah saja tunduk segala apa
yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang
melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan
diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas
mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
(kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah:
Janganlah meminta untuk
tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat
tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan
peristiwa Isra' ini, Adalah manusia
bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan
inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan
antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil
menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan
yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang
rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang
mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan
Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali
ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta
sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan
tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut:
Dia (Allah) menciptakan apa-apa
(makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8);
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.
Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya:
Dan janganlah kamu mengambil satu
sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena
sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu
kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS
17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan
pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad
ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis,
menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan
kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan
sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini
yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya,
walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu,
teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia
tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97%
selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya,
pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau
betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga
demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk
membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi.
Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis
dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni
observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam
yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja.
Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali
saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan
dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh
eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan
karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula
sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa
menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi
hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa
"oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan
Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan
sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara
ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada
perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa
yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta
berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang
Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang
peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini,
digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak
mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus
diambilnya. Allah berfirman:
Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah
kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah
kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula
kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka
tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128).
Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum
diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya
bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra'
dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian,
Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas,
menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya.
Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat
ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang
di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai
yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu,
dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam
surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk
membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan
shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah
yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini,
karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak
untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran
dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk
mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia
seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia,
karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan
Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang
tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu
kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia
semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan
oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui,
Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru
bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang
tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan
khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak
seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah
mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar
atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada
Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan
akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang
menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya
didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena
shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian
dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan
para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu,
Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan
doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari
tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita
telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat
tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah
seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia
adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah
Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung
gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse
Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi
yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh
pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan
Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang
peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ
digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap
petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah
menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu
atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah
siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS
16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam
rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan
Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah:
Jika kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup
dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah
sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS
17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa
"Sesungguhnya orang yang hidup
berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS
17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam
kesederhanaan dan keseimbangan: Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu
dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya,
agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS
17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam
bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah.
Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya
tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima
puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam
petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni
yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat:
Janganlah engkau mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi
carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17:
110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat
mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di
saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan
tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang
gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama
Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar,
berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang
sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam
kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan
menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya.
Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan
tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya,
tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang
lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad,
"Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan
kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya
dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan
peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:
"Percayalah kamu atau tidak usah
percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya
mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila
disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka
mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat
kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian
peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra'
sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan
Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan
menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas
Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini,
serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk
memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
Asrar Tartib Al-Qur'an.
pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat
wa Al-Suwar.
Silakan kunjungi: penjelasan Isra' Mi'raj melalui
SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN
Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang
terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran.
Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan,
pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya,
dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga
neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali,
mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke
kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air
yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya
masih belum habis ketika Nabi turun kembali.
Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran
waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya
tidak masuk akal.
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal
bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak
memuaskan raja.
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi
Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan
menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata,
"Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian.
Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada
faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita
itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal,
yang dangkal dan terbatas."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh
memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar
melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat
olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut
banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak
ada seorang perajurit pun yang tampak.
Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar
tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.
"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api
sama sekali.
Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar
mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu
tak ada.
Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir
seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah
jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.
Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan
memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah
Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang
sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena
kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin
membalas dendam.
Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang
kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan
siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar
di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya
pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada
seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan
bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia
seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada
kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.
Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota
tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang
pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan
syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu
pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis
cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu
sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang
berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya
lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum
kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya
yang tak karuan.
Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya,
"Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini.
Ayo, ikut aku."
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah
yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya
yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik
dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima
yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai
wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.
Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia
telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan
bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan
basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila
berada di jalan.
Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat
indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun
diperdengarkan.
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu:
sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya.
Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang
harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.
Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun
kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena
Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia
disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat
berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang
dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di
tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang
lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air
wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di
istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai
keratonnya.
"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi
kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa,
hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,
"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun.
Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu.
Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun
menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).
Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di
Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.
Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan
rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan
tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya
kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk
membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah
itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum
habis isinya?
Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu.
Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna
kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
Catatan
Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti,
masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau
pendengarnya.
Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di
kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah
kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal
yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui'
khalayak."
Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu"
dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.
------------------------------------------------------------
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
bicara.'"
"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
"Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34.
Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
a.s.
Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah
Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya
kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus
percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba
dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam
untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh
nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir
(natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa
'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya
daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."
Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?"
seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat
bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut
kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau
batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.
Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih
yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang
tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti
untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan
doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa
rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan
Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku
manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia
dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi
tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra
Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang."
Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah
dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah
Al-Quran.
Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan
Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa'
(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut
Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan
selamat natal itu?
Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan
ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata
yang melarangnya.
Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa
pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama
kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas,
dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh
Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami
masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah
Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada
wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat sang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan
pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama
bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan,
tetapi "wujud Tuhan."
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia
agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan
yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan
kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak
dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain? Mungkin!
Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman,
agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada
seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat
Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,
maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah
yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan
bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau
keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan
keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah
ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun
non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan
keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,
bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang
membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah
berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian
umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas
dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh
umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan
ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah
kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari
kebangkitannya nanti.